Bisnis.com, JAKARTA - Keterbatasan anggaran dinilai tidak dapat dijadikan alasan atas potensi gagal tercapainya target pembangunan jaringan 4G di desa-desa di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Potensi kegagalan terjadi karena manajemen yang kurang baik dalam pengelolaan anggaran yang besar.
Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura berpendapat pendanaan bukanlah faktor utama yang mempengaruhi pembangunan jaringan.
Dia mengatakan dengan anggaran yang diberikan, seharusnya Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) dapat memutar dana tersebut sehingga pembangunan dapat dilakukan sesuai dengan target, mengingat terdapat dana yang dapat dikelola oleh Bakti, baik berasal dari operator seluler atau APBN.
“Kecuali Kemenkominfo tidak mendapat pemasukan,” kata Tesar, Selasa (25/1/2022).
Tesar berpendapat pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T juga seharusnya tidak terlalu mahal, mengingat Bakti sempat melakukan terobosan dengan kepala daerah perihal pinjam pakai lahan.
Pinjam pakai lahan adalah sebuah konsep di mana pemerintah daerah menyiapkan lahan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sedangkan pemerintah pusat diberi fasilitas pembebasan IMB untuk membangun infrastruktur telekomunikasi.
Lokasi lahan yang tersedia berada di tengah desa agar bisa menjangkau populasi, bukan di luar desa atau bahkan di gunung. Bakti memiliki prinsip menggunakan Satu Desa Satu Tower BTS yang bisa menjangkau di tengah kampung atau desa tersebut.
“Seharusnya sudah cukup jika mereka punya pengelolaan keuangan yang bagus,” kata Tesar.
Adapun mengenai potensi tidak tercapainya target pembangunan BTS di desa-desa pada 2022, menurut Tesar, karena ketidakmampuan Kemenkominfo dan Bakti dalam mengelola proyek besar.
Sekadar informasi, pada 2022 pemerintah menganggarkan dana senilai Rp25 triliun untuk pembangunan infrastruktur digital. Jumlah tersebut Rp7 triliun lebih rendah dibandingkan dengan anggaran pembangunan infrastruktur digital pada 2021 yang mencapai Rp32 triliun.