3 Permasalahan Ini Hantui Rencana Operator Gelar 5G pada 2022

Leo Dwi Jatmiko
Selasa, 4 Januari 2022 | 16:16 WIB
Teknologi 5G/Ilustrasi
Teknologi 5G/Ilustrasi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Keterbatasan spektrum frekuensi, kesiapan ekosistem nasional, dan sumber daya manusia menjadi tiga tantangan terbesar dalam penggelaran 5G oleh operator seluler pada tahun ini. 

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan ketersediaan spektrum adalah masalah terbesar dalam pengembangan 5G pada 2022. 

Permasalahan ini dapat diatas dengan lelang yang digelar pemerintah di pita mid-band, high-band dan gelombang milimeter. Sigit memperkirakan lelang akan dilakukan secara bertahap oleh Kemenkominfo.   

Salah satunya alasan bertahap bisa jadi memperhatikan kemampuan finansial operator seluler yang akan menjadi peserta lelang. 

"Sampai beberapa tahun ke depan, keterbatasan frekuensi masih akan menjadi tantangan terbesar untuk penyediaan layanan 5G yang sesungguhnya," kata Sigit, Selasa (4/12/2022). 

Sekadar informasi untuk menghadirkan 5G yang sesungguhnya dibutuhkan pita frekuensi sebesar 100 MHz. Telkomsel, paling lebar hanya memiliki 50 MHz di pita 2,3 GHz.

Sementara itu, Indosat Ooredoo Hutchison sebesar 2x30 MHz di pita 2,1 GHz dan 1,8 GHz. Lalu, XL Axiata memiliki 2x22,5 MHz di pita 1,8 GHz. 

Sigit menambahkan sampai beberapa tahun ke depan, keterbatasan frekuensi masih akan menjadi tantangan terbesar untuk penyediaan layanan 5G yang sesungguhnya. 

Undang-undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja, kata Sigit, telah memberi lampu hijau untuk mengatasi masalah keterbatasan frekuensi dengan memperbolehkan berbagi spektrum antar operator. Ini suatu terobosan baru dalam regulasi telekomunikasi di Indonesia. 

“Mungkin masih perlu peran pemerintah untuk mendorong terwujudnya kerja sama [spektrum] ini, sehingga tidak sepenuhnya diserahkan ke mekanisme bisnis business to business (B2B),” kata Sigit.  

Sebagai permulaan, menurut Sigit, bisa dimulai secara terbatas di proyek strategis nasional, yang sekaligus secara pasar masih merupakan Blue Ocean

Blue Ocean adalah pasar baru di mana persaingan belum terlalu ketat dan permintaan pasar potensial untuk dikembangkan.

“Misalnya di proyek Ibu Kota Negara atau event besar G-20 di Bali dan sebagainya. Sehingga setidaknya di tempat tersebut, 5G yang sesungguhnya bisa dirasakan,” kata Sigit. 

Tantangan kedua, kata Sigit, adalah pengembangan ekosistem nasional dan menghadirkan kasus pemanfaatan yang sesuai dengan kebutuhan dan mempunyai daya ungkit tinggi. 

Teknologi 5G bukan sekedar evolusi 3G/4G secara kecepatan, tetapi juga menciptakan banyak peluang use-case baru di berbagai sektor dan bidang sehingga memiliki potensi nilai ekonomi sangat besar. 

“Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah aspek SDM, yaitu upaya penyediaan talenta digital dengan skil yang sesuai dan dibutuhkan di era 5G,” kata Sigit.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper