Bisnis.com, JAKARTA – Pemanfaatan satelit Starlink dinilai harus jelas peruntukannya. Pengamat telekomunikasi khawatir kehadiran satelit Starlink justru mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan secara teknis untuk bisa memberikan layanan, maka Starlink harus memiliki hak labuh atau landing right di Indonesia dan Indonesia seharusnya juga memiliki hak labuh di negara asal satelit Starlink yaitu Amerika Serikat.
Setelah mengantongi hak labuh, perlu ada izin jaringan tetap tertutup berbasis VSAT yang dipegang oleh Startlink.
Heru menegaskan hal paling penting dari kerja sama yang terjalin nanti adalah tujuan yang jelas mengenai pemanfaatan Startlink di Indonesia.
“Jangan sampai pasar Telkom diambil dan mereka membuka lubang keamanan untuk masuk ke Indonesia,” kata Heru, Kamis (14/10/2021).
Adapun mengenai kelebihan dari satelit dengan jenis Low Earth Orbit atau satelit orbit rendah, adalah latensi layanan yang kecil karena letak satelit yang dekat dengan bumi.
Diketahui, pada Mei 2020, SpaceX meluncurkan 60 satelit ‘LEO’ Starlink pertamanya. Dalam uji coba tersebut, Starlink mengorbit di ketinggian sekitar 550 kilometer di atas permukaan bumi. Karakteristik Satelit LEO umumnya mengorbit di ketinggian 300 kilometer-1.500 kilometer.
Jarak ketinggian tersebut jauh berbeda dengan satelit Orbit Geostasioner (GEO) yang ketinggiannya bisa mencapai 35.790 kilometer di atas permukaan bumi.
Dengan jarak yang dekat dengan bumi, latensi satelit Starlink pun lebih rendah diketahui sekitar 20Mbps - 40Mbps. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan satelit GEO yang mencapai ratusan milidetik.
Meski demikian, secara cakupan satelit LEO lebih sempit dari GEO, di mana satu satelit GEO dapat melayani seluruh Indonesia. Sementara itu butuh banyak satelit LEO untuk melakukan hal yang sama.
“Untuk cover Indonesia akan butuh banyak satelit LEO,” kata Heru.