Top 5 News Bisnisindonesia.id: Gojek-Grab Berburu Startup & Jalan Tengah Cukai Rokok

Wike Dita Herlinda
Jumat, 10 September 2021 | 13:04 WIB
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Mayestik, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Mayestik, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Perburuan terhadap entitas-entitas startup baru yang potensial kian getol dilakukan oleh pemain superapp selevel Gojek dan Grab. Dengan mengembangkan modal venturanya sendiri, kedua raksasa ride hailing itu jorjoran mendanai perintis papan bawah dari berbagai vertikal.

Apa sebenarnya yang diincar Gojek dan Grab di balik pertandingan menyuntik modal ke startup kecil? Bisnisindonesia.id memiliki analisis aktual untuk menjawab niat kedua perusahaan teknologi tersebut.

Selain soal persaingan Gojek dan Grab masuk ke bisnis pendanaan startup, berbagai berita pilihan tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id. Mulai dari jalan tengah polemik cukai rokok, hingga efek berantai kebijakan PPh bunga obligasi.

Berikut highlight Bisnisindonesia.id, Jumat (10/9/2021) :

1. Gojek Vs. Grab : Adu Taktis Investasi ke Startup, Siapa Jagonya?

Gojek dan Grab tak hanya bertanding menguasai pasar superapp. Dua raksasa ride hailing terkuat di Asia Tenggara itu dewasa ini terpantau makin agresif menyuntik pendanaan ke banyak startup baru melalui entitas modal ventura independen besutan masing-masing.

Gojek via Go-Ventures dan Grab lewat Grab Ventures tercatat makin getol mendanai perusahan rintisan (startup) di vertikal-vertikal unik yang pangsa pasar serta kompetisinya belum jenuh.

Koleksi startup yang mereka danai bervariasi mulai dari vertikal layanan audio digital, media daring, groceries, pemesanan tiket bioskop dan karaoke online, jasa renovasi rumah, layanan pangkas rambut, dan lain sebagainya.

Suntikan modal dari kedua gigantis ride hailing tersebut praktis mencipratkan warna baru terhadap perkembangan investasi ke ekosistem industri rintisan di dalam negeri, yang belakangan makin didominasi oleh vertikal yang sudah jenuh seperti dagang-el atau teknologi finansial (tekfin).

Menurut tinjauan para pakar ekonomi digital, preferensi Gojek dan Grab dalam mendanaai perintis papan bawah menyerupai pola yang lazim diterapkan oleh para tech giants di Amerika Serikat ala Google LLC, Microsoft Corporation, dan Apple Inc.

Dengan mendanai startup dari bidang-bidang yang unik, Gojek dan Grab kemungkinan bertujuan untuk ‘membibitkan’ mereka guna memperkuat ekosistem superapp masing-masing.

2. PPh Bunga Obligasi Dipangkas, RD Terproteksi Paling Terdampak

Penurunan pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi yang diberikan pemerintah kepada investor domestik dari 15% menjadi 10% digadang-gadang berdampak signifikan pada penurunan daya tarik reksa dana terproteksi ketimbang jenis reksa dana lainnya.

Berbagai analis menilai daya tarik reksa dana terproteksi akan berkurang untuk investor institusi sehingga reksa dana terproteksi hanya mengandalkan investor ritel.

Bagi investor institusi seperti asuransi, memiliki obligasi melalui reksa dana terproteksi selama ini  lebih menarik sebab biaya pajaknya hingga tahun lalu hanya 5%.

Namun, mulai tahun ini pajak obligasi di reksa dana menjadi 10%, sedangkan insentif PPh bunga obligasi untuk investor justru turun dari 15% menjadi 10%.

Dengan demikian, investor institusi akhirnya akan lebih tertarik untuk mengelola obligasi sendiri daripada menggunakan reksa dana, sebab pada reksa dana mereka akan tertekan management fee.

Walhasil, reksa dana terproteksi pun hanya menarik untuk investor ritel. Hal tersebut dikarenakan minimal pembelian obligasi di luar reksa dana terkecuali obligasi ritel Indonesia (ORI) adalah Rp1 miliar.

Top 5 News Bisnisindonesia.id: Gojek-Grab Berburu Startup & Jalan Tengah Cukai Rokok

Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021./ANTARA FOTO-Aprillio Akbar

3. Mencari Jalan Tengah Kebijakan Cukai Rokok

Pembahasan tarif cukai rokok yang alot dan banyak kepentingan membuat Presiden Joko Widodo turun tangan. Meskipun besarannya lebih moderat ketimbang dua tahun ke belakang, kenaikan tarif di tengah pandemi itu tetap sarat polemik.

Keterlibatan Jokowi dalam pembahasan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dikemukakan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Kamis (9/9/2021).

Menurutnya, pembahasan kebijakan CHT selalu sampai di meja Presiden. Dimensi yang luas dari kebijakan CHT membuat orang nomor satu di Indonesia itu turut menentukan arah kebijakan itu.

Ada tiga hal yang dipertimbangkan Jokowi sebelum menetapkan tarif CHT.

Pertama, industri dan tenaga kerja. Industri cukai hasil tembakau perlu dikembangkan karena memberikan kontribusi bagi pendapatan negara dan daerah, juga membuka lapangan kerja yang luas.

Kedua, pengendalian konsumsi, yakni kebijakan cukai yang memengaruhi harga produk hasil tembakau juga akan berkaitan dengan tingkat konsumsi masyarakat. Pengendalian konsumsi ini setidaknya berkaitan dengan aspek ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Ketiga, perkembangan produk hasil tembakau ilegal yang berpotensi bertambah saat cukai dinaikkan.

4. Tuah KTT G20, Investasi Pariwisata Bersiap Kembali Melonjak

Keketuaan Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 tahun depan menjadi angin segar bagi pembalikan kinerja industri pariwisata. Investasi ke sektor turisme bahkan diproyeksikan tumbuh dua digit pada 2022, tersentil sentimen perhelatan internasional itu.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot Tanjung mengestimasikan pertumbuhan investasi sektor pariwisata berpeluang naik 30% akibat KTT G20 tahun depan.

Seiring dengan mulai melandainya kurva penyebaran Covid-19, geliat penanaman kapital di sektor turisme pun mulai menunjuukan tren positif.

Sejumlah pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat pada sektor pariwisata turut menyegarkan kembali investasi dalam dan luar negeri. 

Di sisi lain, pelaku industri pariwisata pun berharap agar perbankan memangkas suku bunganya menjadi 4% menjelang KTT G20 tahun depan.

5. Mungkinkah Teknologi Membuat Perhitungan Tarif Tol Menjadi Adil?

Badan Pengatur Jalan TOl (BPJT) mengemukakan bahwa penerapan teknologi pada transaksi pembayaran tarif dapat meningkatkan pendapatan pengelola jalan tol.

Nilai transaksi jalan tol pada akhir 2021 diperkirakan lebih tinggi dari prognosis awal tahun. Adapun, prognosis volume transaksi jalan tol pada 2021 adalah Rp22,5 triliun atau tumbuh 17,24 persen dari capaian 2020.

BPJT memprediksi ada percepatan pertumbuhan volume transaksi jalan tol pada tahun ini. BPJT mendata, volume transaksi pada semester I/2021 telah mencapai sekitar Rp12 triliun.

Jika ramalan tersebut terealisasi, jalan tol akan menjadi industri yang cukup tangguh dan tumbuh walau ada pandemi. Oleh karena itu, industri jalan tol butuh pengelolaan yang lebih modern.

Salah satu teknologi yang dapat mengubah industri jalan tol adalah penerapan teknologi transaksi jalan tol nontunai nirsentuh, yakni multi lane free flow (MLFF) berbasis global navigation satellite system (GNSS).

Penerapan teknologi tersebut sudah didukung dengan penerbitan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 18/2020 tentang Transaksi Nontunai Nirsentuh.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper