Industri Penyiaran Menanti Tuah Siaran TV Digital

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 12 Agustus 2021 | 18:16 WIB
Proses syuting sebuah program televisi di stasiun tv SCTV, salah satu stasiun tv yang dikelola PT Surya Citra Media Tbk./scm.co.id
Proses syuting sebuah program televisi di stasiun tv SCTV, salah satu stasiun tv yang dikelola PT Surya Citra Media Tbk./scm.co.id
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga penyiaran swasta termasuk salah satu sektor yang terkena dampak pandemi Covid-19. Faktanya, pendapatan dari iklan, yang merupakan denyut nadi perusahaan, terus menyusut.

Mau tidak mau, perlu ada solusi yang efektif dan bisa memberikan efisiensi sekaligus pendapatan alternatif bagi mereka. Kehadiran siaran televisi digital dinilai tepat untuk momentum ini.

Peralihan siaran televisi analog menuju siaran digital bisa menjadi jalan keluar. Cara ini digadang-gadang dapat menghemat kantong operasional perusahaan televisi swasta, baik perusahaan televisi lokal maupun nasional.

Bagaimana tidak, satu infrastruktur televisi digital dapat menampung 12-13 siaran sekaligus, berbeda infrastruktur analog yang hanya dapat menampung satu siaran analog.

Artinya, lembaga penyiaran swasta tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk membangun infrastruktur penyiaran hingga perawatan peralatan. Cukup menyewa dengan LPS lain, sudah beres.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), lembaga penyiaran swasta lokal dapat melakukan penghematan dari sisi operasional, di mana sebelumnya mereka harus membayar Rp20 juta - Rp100 juta per bulan untuk operasional, menjadi Rp12 juta - Rp50 juta per bulan dengan beralih ke digital.

Hal tersebut terjadi karena mereka tidak perlu lagi membayar biaya hak penggunaan frekuensi (ISR), listrik untuk pemancar siaran analog, perawatan perangkat, perawatan gedung dan lain sebagainya.

“Dengan menyewa mux saat beralih ke digital, itu hanya membayar sekitar Rp12 juta - Rp50 juta,” kata Direktur Penyiaran Kemenkominfo Geryantika Kurnia dalam konferensi virtual beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, kata Gery, PT Jawa Pos National Network (JPNN) telah membuktikan efisiensi dari siaran digital. Pergelaran siaran terestrial digital 42 persen lebih hemat dibandingkan dengan kegiatan teresterial analog.

Jika menggelar siaran teresterial analog dibutuhkan dana mencapai Rp4,25 miliar per tahun, saat beralih ke teresterial digital biaya yang dikeluarkan hanya Rp2,48 miliar.

Tidak hanya efisiensi, bagi LPS penyelenggara mux, peralihan siaran digital akan menjadi ‘tambang emas baru’ di tengah kondisi industri penyiaran yang sedang tertekan oleh pandemi Covid-19. Mereka dapat meraup untung dengan menyewakan mux di 11 kota ‘pasti laku’ yang menjadi obyek riset Nielsen.

Sekadar informasi Nielsen adalah perusahaan riset pengukuran dan analisis data global yang memberikan gambaran bagi konsumen dan pasar di seluruh dunia. Nielsen di Indonesia melakukan pengukuran kepemirsaan atas semua televisi nasional di 11 kota di Indonesia.

Kota-kota yang menjadi obyek penelitian Nielsen antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Makassar dan Banjarmasin.

Nielsen rutin melakukan pengukuran yang tertuang dalam nilai peringkat, share dan indeks. Peringkat dan share itu kemudian diberikan Nielsen kepada LPS dan menjadi nilai tawar bagi LPS kepada perusahaan calon pemasang iklan. Oleh sebab itu, infrastruktur mux di 11 kota Nielsen digandrungi oleh LPS lokal dan nasional.

Adapun mengenai sewa-menyewa mux dan kaitannya terhadap pendapatan LPS, Direktur Visi Media Asia (Viva) Neil Tobing menjelaskan seandainya 1 mux menampung 8 LPS, di mana masing-masing LPS menyewa dengan harga Rp15 juta per bulan, setiap bulan dana yang masuk ke LPS diperkirakan sekitar Rp120 juta.

Dana tersebut nantinya dapat digunakan untuk menutupi investasi yang telah digelontorkan untuk membangun multipleksing dan operasional mux.

Dia berhitung untuk investasi infrastruktur multipleksing dibutuhkan biaya sekitar Rp2 miliar – Rp5 miliar per wilayah. Ditambah untuk membangun menara, perizinan, lahan dan lain sebagainya diperkirakan habis sekitar Rp30 miliar.

“Kami berhitung investasi balik sekitar 5 tahun – 7 tahun,” kata Neil.

Infrastruktur mux yang telah terbangun nantinya bakal disewakan kepada LPS lokal maupun pemilik konten yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI).

Harapan
Mengenai sewa mux, ATSDI memiliki sejumlah harapan, salah satunya mengenai orientasi LPS penyelenggara multipleksing. Dia meminta agar penyelenggara mux tidak berorientasi pada komersial dalam menyewakan multipleksing.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum ATSDI Eris Munandar. Dia menuturkan biaya sewa mux yang mahal berisiko membuat program siaran yang diberikan kepada masyarakat menjadi seragam, karena pemain tv lokal tidak dapat menyokong konten akibat tingginya harga sewa yang ditetapkan.

Eris menginformasikan untuk sewa mux di Jabodetabek saja, saat ini para penyelenggara televisi lokal harus membayar sewa sekitar Rp49 juta/ bulan kepada penyelenggara mux.

Kemudian untuk ibu kota provinsi, penyelenggara mux membanderol tarif sewa dengan harga berkisar Rp20 juta – Rp26 juta per bulan atau setengah dari harga di Jabodetabek. Sementara tarif sewa di luar ibu kota provinsi lebih murah sekitar Rp20 juta ke bawah.

Dia mengusulkan sebelum ASO direalisasikan pada 2 November 2022, para anggota ATSDI mendapat potongan harga sewa sebesar 50 persen dari ketentuan harga sewa yang ada. Setelah 2 November 2022, harga komersial boleh untuk diterapkan kembali.

“Biaya pemain televisi lokal bukan hanya untuk sewa mux, namun juga untuk konten, karena persaingannya ketika ke digital adalah konten yang berkualitas. Itu butuh investasi yang tidak murah,” kata Eris.

ATSDI mendukung siaran digital dan berharap siaran tersebut segera digelar demi layanan yang lebih baik kepada masyarakat, juga pemasukan bagi negara.

Penjadwalan Ulang
Sayangnya, harapan ATSDI dan peluang LPS meraup pendapatan baru serta efisiensi operasional dari siaran digital pada tahun ini harus ditunda dahulu.

Secara mendadak Kemenkominfo membatalkan analog switch off/ASO tahap I di 5 provinsi. Awalnya kelima provinsi - yaitu Aceh, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara - dijadwalkan padam siaran analognya paling lambat pada 17 Agustus 2021.

Kemenkominfo masih menyesuaikan jadwal ASO. Terdengar kabar bahwa Kemenkominfo berencana memangkas tahapan ASO dari 5 tahap menjadi 3 tahap, dengan tahap I dijadwalkan pada April 2022.

Mengenai hal tersebut, Menkominfo Johnny G. Plate mengatakan penyesuaian jadwal pelaksanaan ASO dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan meliputi, fokus pemerintah dan masyarakat dalam penanganan Covid-19, serta masukan masyarakat.

Kemenkominfo, kata Johnny, akan berusaha optimal agar ASO tetap dapat dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

“Kemenkominfo akan terus melakukan upaya optimal agar pelaksanaan ASO tetap memenuhi amanat UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja,” kata Johnny.

Pembatalan ASO tahap I ini diharapkan tidak berdampak pada pergerlaran ASO secara keseluruhan. Ada kekhawatiran proses ASO akan terganggu karena ASO tahap I ditunda.

Saat ini ASO yang telah tertunda selama belasan tahun, berada di tangan pemerintah. Sukses dan gagal pergelaran ASO tergantung dari kebijakan pemerintah Para pelaku industri tentu akan mengikuti selama proses ASO ini berjalan dengan benar.

Langkah yang bijak menjadi penentu keberhasilan. Jika November 2022, siaran digital tak akan pernah tergelar di Tanah Air.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper