Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat telekomunikasi menilai pemegang saham PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) memiliki kemampuan untuk membayar tunggakan biaya hak penggunaan (BHP) Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR).
Hanya saja, hal tersebut sulit terealisasi karena pita 450 MHz tidak populer untuk layanan jaringan internet seluler. Tidak hanya itu, para pemegang saham juga dinilai sudah tak mendukung STI untuk beroperasi.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan peluang STI memperpanjang izin atau tidak memperpanjang, tergantung pada para pemegang saham STI.
Secara finansial, menurut Heru, STI memiliki kemampuan untuk membayar tunggakan BHP frekuensi yang hanya sekitar Rp442 miliar. STI tergabung dalam grup Sampoerna Strategic, sebuah grup besar yang memiliki kinerja keuangan cukup kokoh.
Adapun jika hingga hari ini tunggakan BHP belum dibayarkan, menurut Heru, kemungkinan para pemegang saham kesulitan mengembangkan STI.
“Secara finansial tentu STI kan merupakan anak usaha perusahaan besar, tetapi mungkin memang mereka kesulitan mengembangkan STI dan tidak menjadi prioritas ke depannya,” kata Heru, Minggu (30/5/2021).
Sementara itu, Ketua Bidang Regulasi dan Pemerintahan Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) Ardian Asmar menilai salah satu pertimbangan para pemegang saham enggan menambah modal ke STI, karena spektrum frekuensi yang digunakan STI kurang popular untuk seluler.
“Tidak ada gawai yang dapat menangkap sinyal di pita 450 MHz. Jadi mereka terpaksa jualan perangkat juga agar frekuensinya terpakai,” kata Ardian.
Ardian menuturkan agar 450 MHz lebih menguntungkan secara bisnis, STI seharusnya mengubah target pasarnya dari ritel perorangan ke ritel UMKM.
Sampoerna Group memiliki keahlian di UMKM karena Sampoerna berjualan rokok. Sinergi antara STI dengan perusahaan-perusahaan di Sampoerna Group akan membuat napas STI lebih panjang di tengah ketatnya persaingan.
“Problemnya dalam sebuah grup besar, sinergi grup itu hanya semacam utopia. Beratnya di sana,” kata Ardian.