Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan rintisan yang dipimpin oleh perempuan (female technology/femtech) semakin banyak bermunculan menghiasi panggung startup Tanah Air.
Riset yang dilakukan Frost & Sullivan menunjukkan bahwa femtech secara global bisa menjadi pasar yang bernilai US$50 miliar hingga 2025.
Untuk diketahui, femtech dapat diartikan sebagai bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan pemainnya menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan.
Co-Founder dan COO Fore Coffee Elisa Suteja mengatakan meskipun memiliki prospek cerah, tetapi femtech masih dihantui tantangan di Indonesia yang ada pada stigma dalam membuat playing field untuk perempuan tidak setara.
“Kebanyakan perempuan yang duduk di posisi pemimpin sering dianggap tidak kompeten karena gender bias. Namun, saya rasa peluang femtech sendiri terbuka lebar, mengingat makin banyaknya generasi baru perempuan yang paham teknologi karena dibesarkan di era serba teknologi,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (20/4/2021).
Lebih lanjut, dia meyakini pendiri perempuan sebetulnya tidak berbeda dengan pendiri laki-laki. Tetapi, karena kurangnya bimbingan kepemimpinan yang lebih terstruktur dan kurang adanya kesempatan yang setara untuk laki-laki dan perempuan yang menyebabkan stigma tersebut masih melekat.
“Kompetensi seharusnya bukan masalah, jadi menurut saya, edukasi dan kesempatan saja yang belum setara,” katanya
Kendati demikian, Elisa optimis bahwa tidak ada batasan tertentu bagi perempuan untuk memulai startup. Tetapi dia menyarankan jika ingin memulai maka sektor yang tepat untuk dikulik adalah isu yang paling banyak dihadapi perempuan, seperti female hygiene atau female-focused support.
Senada, CEO Reblood Leonika Sari mengatakan sudah banyak startup yang didirikan oleh perempuan kian dilirik pemodal sehingga mendapat pendanaan pada beberapa tahun terakhir, walaupun belum signifikan.
Menurutnya, terdapat beberapa inisiatif program akselerator startup, seperti Startup Weekend Indonesia yang juga menginisiasi program startup khusus women founders seperti yang dikelola oleh Kumpul.
“Inisiatif-inisiatif ini menjadi awal yang dapat mempengaruhi peluang pertumbuhan startup dengan women founders untuk semakin bertumbuh, tidak hanya dari sisi pendanaan tapi juga dari kualitas produk dan pertumbuhan serta traksinya,” katanya.
Menurutnya, minimnya perempuan untuk duduk memimpin startup didasari oleh masih sedikitnya mereka yang terjun di dunia software engineering atau yang memiliki keahlian sebagai pengembang.
“Dari jumlah engineer perempuan yang sedikit, tentu tidak mengagetkan jika tidak banyak perempuan yang menjadi founder startup. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi leader dalam sebuah startup, karena startup juga tidak hanya membutuhkan hacker, tetapi juga membutuhkan hustler [bisnis] dan hipster [desain],” ujarnya.
Leonika meyakini sektor kesehatan, seperti nursing and pregnancy care, bisa menjadi sektor tepat sasaran oleh femtech, karena adanya fokus pada kesehatan perempuan, yang tentunya memerlukan women founders untuk menjalankannya.