Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan rintisan (startup) yang didirikan oleh perempuan dinilai masih memiliki ruang besar untuk berkembang, khususnya pada era transformasi digital di mana akses informasi semakin terbuka untuk semua gender.
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan jika makin banyak perempuan terjun di industri startup teknologi merupakan sinyal baik dalam hal keberagaman komposisi yang berimplikasi terhadap ragam ide dan inovasi yang dihasilkan ke depan.
“Secara umum, startup yang dipimpin perempuan biasanya memiliki budaya yang lebih terorganisir, terstruktur, dan empatik. Kemudian, femtech juga masih ada ruang besar untuk berkembang, saat ini tantangan dan peluang sama saja dengan pendiri yang dari laki-laki,” ujarnya, Selasa (20/4/2021).
Berdasarkan riset yang dilakukan Frost & Sullivan menyebutkan female technology (femtech) secara global bisa menjadi pasar bernilai US$50 miliar hingga 2025.
Sekadar catatan, femtech bisa berarti bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan.
Dianta menyayangkan bahwa meskipun perempuan juga memiliki kelebihan yang intens dengan dunia digital, khususnya di ranah media sosial hingga belanja daring, tetapi masih banyak perempuan yang belum banyak terjun sebagai founder startup.
Berdasarkan riset yang dilakukan BCG Research mencatatkan pada 2020 jumlah perempuan yang bekerja di perusahaan sektor teknologi pada kawasan Asia Tenggara hanya setara 32 persen dari total karyawan industri.
Sementara itu, persentase perempuan yang mengambil fokus teknologi di perguruan tinggi pada kawasan Asean hanya setara 39 persen dari total peserta studi. Adapun di Indonesia, pekerja perempuan di perusahaan-perusahaan teknologi baru mencapai angka 22 persen. Kemudian, secara keseluruhan rasio jumlah pekerja perempuan terhadap total angkatan kerja mencapai 32 persen.
Kondisi ini harus segera diatasi, karena riset yang sama menyebut bahwa keberadaan perempuan justru bisa meningkatkan inovasi, kelincahan, dan performa keuangan perusahaan.
Lebih lanjutnya, Dianta menilai banyak hal menarik di startup yang didirikan perempuan adalah kebanyakan pemain membangun bisnis yang memberikan dampak sosial. Mulai dari lokal pasar daring yang merangkul lebih banyak perempuan untuk memiliki usaha hingga layanan dan produk kecantikan yang memberdayakan perempuan untuk menjadi mitra.
“Selain itu, perempuan juga memiliki potensi untuk membangun startup di sektor pendidikan, kesehatan, media, marketing, kuliner karena akan menjadi lebih menarik jika ada alternatif dari femtech,” kata Dianta.
Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang didirikan perempuan. Beberapa startup di antaranya diprediksi bakal meluncur mulus dalam waktu 2 hingga 3 tahun ke depan.
Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil riset McKinsey Global Institute (MGI). Penelitian berjudul The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific menyatakan, Indonesia mampu menambah PDB sebesar US$135 miliar pada 2025.
Laporan tersebut menjelaskan ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk merealisasikan proyeksi tersebut. Pertama, terjadi peningkatan partisipasi kerja perempuan.
Kedua, porsi perempuan yang bekerja penuh waktu harus lebih tinggi dibandingkan dengan paruh waktu dan ketiga perlu lebih banyak kaum hawa bekerja di sektor yang produktivitasnya tinggi seperti manufaktur.