Author

Ibrahim Kholilul Rohman

Dosen Ekonomi Digital, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Dia meraih gelar doctor of philosophy (Ph.D) di bidang Technology and Society dari Chalmers University of Technology

Lihat artikel saya lainnya

Menakar Dampak Merger Gojek-Grab

Ibrahim Kholilul Rohman
Rabu, 23 Desember 2020 | 11:00 WIB
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Jakarta, Senin (3/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Jakarta, Senin (3/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Rumor tentang kemungkinan merger Gojek dan Grab menjadi topik yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Merger antara dua raksasa perusahaan transportasi berbasis teknologi informasi (TI) akan berimplikasi, baik dari sisi ekonomi maupun hukum.

Secara historis, Gojek didirikan oleh Nadiem Makarim pada 2010 dengan tujuan membuat layanan yang dapat menghubungkan tukang ojek dan calon penumpang secara online. Awalnya Gojek didukung oleh 20 pengojek sebagai mitra dengan mengandalkan call center untuk menghubungkan pengojek dan calon penumpang.

Lima tahun kemudian, Gojek meluncurkan aplikasi untuk pertama kalinya, sehingga penggunanya dapat mengakses layanan dengan lebih mudah. Saat pertama kali diluncurkan, aplikasi Gojek terdiri dari tiga layanan, yaitu GoRide, GoSend, dan GoMart. Pada 2016, Gojek mulai merambah bidang financial technology (fintech) dengan meluncurkan GoPay yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi cashless (non-tunai).

Saat ini Gojek memiliki lebih dari satu juta mitra yang beroperasi di seluruh Indonesia. Selain itu, sejak 2018, layanan ini sudah melakukan ekspansi ke beberapa negara seperti Vietnam, Thailand, dan Singapura.

Berbeda dengan Gojek yang awalnya menggunakan sistem call center, Anthony Tan dan Tan Hooi Ling merilis aplikasi My Teksi (kemudian berkembang menjadi GrabTaxi) pada 2012 di Malaysia dengan sumber dana dari almamater mereka, yaitu Harvard Business School dan uang pribadi. Pada 2013, GrabTaxi melakukan ekspansi ke Filipina, Singapura, dan Thailand dan memindahkan kantor pusatnya dari Malaysia ke Singapura serta melakukan ekspansi ke Vietnam dan Indonesia sejak 2014.

Pada tahun yang sama, GrabTaxi meluncurkan layanan GrabBike untuk pertama kali di Vietnam dan Indonesia pada 2015. Pada 2016, GrabTaxi berubah namanya menjadi Grab untuk merepresentasikan semua layanan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Saat ini, Grab telah beroperasi di 351 kota yang berlokasi di delapan negara Asia Tenggara dengan sekitar 6.000 karyawan dan mitra sekitar 2,8 juta orang.

Dari sisi layanan, Gojek dan Grab menawarkan berbagai macam jasa angkutan kepada penggunanya. Untuk layanan angkutan penumpang, kedua perusahaan menawarkan layanan ojek online (GoRide dan GrabBike), taksi online (GoCar dan GrabCar) dan taksi konvensional yang dapat diakses dengan aplikasi (GoBlueBird dan GrabTaxi).

Untuk menunjang semua layanan yang disediakan, kedua perusahaan juga menyediakan layanan dompet digital yang terintegrasi dengan aplikasi mereka. Berbeda dengan layanan dompet digital yang disediakan oleh Gojek (GoPay), Grab tidak mengembangkan fitur dompet digitalnya sendiri, tetapi mengintegrasikan produk uang elektronik OVO yang terlahir dari kerja sama dengan Lippo Group. Di balik kesuksesan ini, terdapat beberapa investor asing seperti SoftBank yang mengakuisisi sebagian saham OVO dan Tencent yang melakukan investasi pada Gojek selaku penyedia GoPay.

Bagaimana dampak merger antar dua raksasa perusahaan transportasi berbasis IT ini? Mengikuti konsep network externality di industri digital, nilai dari suatu produk meningkat dengan semakin banyaknya pengguna. Hal Varian dalam bukunya The Economic of Information Technology menunjukkan dua titik keseimbangan pasar di industri berbasis teknologi. Titik pertama disebut critical mass di mana perusahaan mulai mendapatkan keuntungan jangka pendek.

Untuk mencapai titik kestabilan jangka panjang, dibutuhkan titik lock-in yang ditandai dengan biaya berpindah (switcing cost) yang mahal. Perusahaan menerapkan strategi untuk meningkatkan jumlah pengguna sebanyak mungkin dengan ‘bakar duit’ atau penetration pricing. Merger adalah strategi efektif untuk mempercepat besaran pengguna.

Bagi investor, merger akan mempercepat pengembalian modal karena aktivitas perusahaan akan lebih efisien. Selain itu, besaran ‘bakar duit’ dan perang harga dalam struktur pasar oligopoli bisa dihindari dengan lahirnya satu monopoli baru.

Aspek kedua terkait dengan pasar dua sisi (two-sided market) di mana terdapat hubungan business to consumer dan business to business. Masalahnya, sebagaimana studi Komisi Eropa pada 2014, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan berbasis TI memiliki big data berupa financial flow, people mobility, dan goods mobility.

Laporan Eileen Guo dalam MIT Technology Review menjelaskan risiko monopoli teknologi. Facebook, misalnya, bertanggungjawab atas dugaan penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan oleh Cambridge Analytica pada pemilihan Presiden AS yang digelar 2016 lalu.

Dari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat. Merger antara dua perusahaan dengan peningkatan konsentrasi Herfindahl-Hirschman Index (HHI) sebesar 200 poin harus dicegah.

Pasalnya, merger antara Grab dan Gojek meningkatkan indeks konsentrasi mendekati monopoli karena keduanya adalah price maker di industri terkait. Hal ini merupakan call bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk mendalami keuntungan dan kerugian dari merger ini.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (22/12/2020)   

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper