Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Astindo) menilai masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan untuk menarik minat raksasa teknologi asal China untuk mengembangkan pusat regionalnya di Tanah Air.
Ketua Umum Astindo, Handito Joewono mengatakan ekosistem ekonomi digital di Indonesia masih belum terbangun dengan baik.
“Ekosistem ekonomi digital di Indonesia belum terlihat ada grand strategy yang komprehensif untuk mengembangkannya. [Ekonomi digital] masih jadi impian,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (17/9/2020).
Dia mengatakan ekonomi digital di Tanah Air masih didominasi oleh pedagang dan konsumen. Menurutnya, hal ini yang membuat ekosistem yang ingin dibangun menjadi tidak lengkap.
“Banyak yang mengaku mengerjakan [pembangunan ekonomi digital], tetapi tidak [digarap] serius dan tidak kelihatan hasilnya. Lebih baik diserahkan koordinasinya ke satu lembaga tertentu yang bisa fokus. BSSN [Badan Siber dan Sandi Negara] potensial diberi tugas itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan saat ini teknologi non digital sudah maju dengan baik di Indonesia dan perlunya perhatian dengan cermat. Selain itu, dari sisi teknologi sektor produktif seperti pertanian, perikanan, pengolahan pangan, dan lainnya juga memiliki kesempatan lebih besar untuk dikembangkan.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain bertajuk e-Conomy SEA 2019, nilai ekonomi berbasis digital Indonesia diperkirakan US$133 miliar pada 2025. Indonesia berkontribusi besar terhadap nilai ekonomi digital di Asia Tenggara yang diproyeksikan US$300 miliar pada 2025.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi menyayangkan sikap dari raksasa teknologi asal China, yaitu Tencent Holdings dan ByteDance yang berencana mengembangkan pusat regional untuk Asia Tenggara di Singapura.
“Saya menyesalkan tidak dipilihnya Indonesia sebagai pusat pengembangan TikTok di regional karena Indonesia ini sebenarnya adalah negara dengan kontribusi pengguna cukup besar dibanding Negeri Jiran,” ujarnya.