Bisnis.com, JAKARTA – Platform berbagi video TikTok menjadi pembicaraan hangat di berbagai belahan dunia setelah tersandung masalah keamanan data pengguna di sejumlah negara.
Platform yang dikembangkan oleh Bytedance itu dituding mengirimkan data pengguna yang berhasil dikumpulkan ke sejumlah pihak, termasuk Pemerintah China. Belum ada bukti yang valid terkait dengan tudingan tersebut.
Namun, tindakan ekstrem berupa pemblokiran platform tersebut telah diambil India. Tindakan tersebut kemungkinan akan dilakukan pula oleh Amerika Serikat setelah Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyebut Pemerintah AS tengah menimbang rencana pemblokiran TikTok.
Rencana pemblokiran yang akan dilakukan oleh Negeri Paman Sam didasari oleh kekhawatiran akan keamanan nasional atas penanganan data pengguna TikTok.
Kekhawatiran itu muncul lantaran adanya regulasi yang mewajibkan perusahaan China untuk mendukung dan bekerja sama dengan intelijen di bawah kendali Partai Komunis China.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi hal tersebut. mengingat TikTok telah menjadi platform populer di Indonesia, terutama di kalangan muda, baik milenial maupun Gen Z.
Menurut pakar keamanan siber dari Vaksincom Alfons Tanujaya, kita perlu objektif sebelum menuding TikTok melakukan pelanggaran seperti yang diklaim India dan AS. Pasalnya, apa yang dilakukan oleh kedua negara tersebut tak terlepas dari konflik antara keduanya dengan China.
"Kita harus objektif karena ini tak lepas dari konflik di antara mereka, perang dagang AS-China dan sengketa perbatasan India-China. Belum ada bukti kuat, tetapi sudah diperlakukan sepeti bersalah. Double standard," ungkapnya ketika dihubungi Bisnis pada Rabu (08/07/2020).
Adapun, standar ganda yang dimaksud oleh Alfons adalah tidak adanya pemberian sanksi terhadap perusahaan teknologi AS seperti Facebook Inc. dan Google Inc. Menurutnya, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya telah melakukan hal yang ditudingkan oleh Pemerintah AS kepada TikTok.
"Mereka juga mengumpulkan data kita, tahu semuanya aktivitas kita, preferensi kita. Facebook saja terbukti melakukan eksploitasi data jutaan pengguna mereka untuk kegiatan kampanye politik dalam skandal bersama konsultan politik Cambridge Analytica, tetapi tidak ada pemblokiran," tuturnya.
Oleh karena itu, Alfons menilai masyarakat Indonesia, terutama pengguna TikTok, bisa menyikapi hal tersebut dengan bijak dengan mencari informasi bagaimana sebenarnya TikTok bekerja dan mengelola data penggunanya.
Namun, di sisi lain Alfons tak menampik bahwa ada kemungkinan TikTok melakukan eksploitasi data penggunanya untuk meraup keuntungan, karena kebanyakan platform asal Negeri Panda memang mendapatkan keuntungannya dari aktivitas tersebut. "Aplikasi asal China relatif lebih agresif mengeksploitasi data penggunanya."
Alfons mencontohkan peramban asal China, UC Browser sering mendapatkan komplain dari penggunanya lantaran gangguan iklan saat mereka berselancar di dunia maya. Iklan tersebut muncul dalam frekuensi yang cukup sering dan tidak jarang menutupi laman.
"UC Browser itu longgar [keamanannya]. Mereka menampilkan iklan sembarangan. User jadi korbannya, tetapi duit mereka mengalir dari situ. Iklan sembarangan bahkan disusupi malware, sampai mengunci layar," paparnya.