Bisnis.com, JAKARTA - Pendanaan ke startup tahap awal mulai kembali dilirik oleh perusahaan modal ventura di tengah pandemi virus corona (Covid-19), kendati pendanaan berjumlah besar sebelumnya tercatat menyebabkan kerugian bagi para investor.
Baru-baru ini, salah satu perusahaan multinasional asal Jepang, SBI Holdings, bahkan membentuk dana usaha patungan dengan perusahaan modal ventura Indonesia, Kejora Capital Management Pte. Ltd. untuk dikucurkan kepada startup tahap awal di Tanah Air. Adapun, jumlah dana yang akan digelontorkan oleh kedua perusahaan mencapai US$30 juta.
Lebih awal, pendiri Bukalapak Achmad Zaky juga mendirikan perusahaan investasi Init-6, yang mengalokasikan dana investasi antara US$50.000 hingga US$20 juta kepada startup tahap awal.
Hal ini merupakan anomali. Pasalnya, pendanaan startup tahap awal Indonesia yang tercatat paling tinggi di Asia Tenggara, justru memiliki riwayat ‘startup gagal’ yang tidak kalah tinggi.
Berdasarkan laporan Cento Ventures berjudul Southeast Asia Tech Investment in 2019, dari total investasi sepanjang 2014-2019 yang mencapai US$9,42 miliar, likuiditas atau dana yang sudah ditarik kembali hanya US$1,29 miliar sehingga rasio likuiditas terhadap investasi baru 0,1x.
Terkait dengan hal tersebut, pemodal ventura bahkan sempat berencana fokus mendanai startup yang sudah kuat dengan potensi bertahan yang tinggi, alih-alih memacu kuantitas perusahaan rintisan tahap awal yang belum teruji daya tahan bisnisnya.
Namun, preseden investasi tersebut tampaknya tidak serta-merta mengurangi minat investor untuk menanamkan modal ke perusahaan rintisan tahap awal di Tanah Air.
Bendahara Asosiasi Modal Ventura Seluruh Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai minat investor untuk berinvestasi ke startup tahap awal di Indonesia masih tinggi, meskipun tidak terlepas dari beberapa hal yang patut menjadi catatan.
"Minat dari investor dan VC sebenarnya terpengaruh dengan kondisi saat ini. Namun, pengaruhnya hanya ke peningkatan fokus, di mana VC existing mulai mengumpulkan dana lebih besar dengan fokus ke growth investment. Dengan masih potensialnya bisnis startup di Indonesia, bisa disimpulkan minat investor tetap baik," ujar Edward kepada Bisnis, Kamis (4/6/2020).
Tingginya minat investor, lanjut Edward, juga tidak terlepas dari potensi pangsa pasar Indonesia yang masih mendukung perusahaan rintisan tahap awal untuk bertumbuh.
Di samping itu, pipeline investor yang makin baik semakin mendukung kelancaran siklus investasi di beberapa tahapan startup. Dengan demikian, kata Edward, hasil akhirnya bergantung pada kemampuan perusahaan rintisan penerima dana dalam mengembangkan potensi dengan kecepatan yang seharusnya.
Hal itu tentunya tidak mudah. Pasalnya, kompetisi yang terjadi setelah ekonomi dihantam oleh Covid-19 diperkirakan bakal lebih ketat. Beberapa vertikal terbukti tidak mampu bertahan dengan baik selama pandemi melanda sehingga sektor-sektor yang benar-benar potensial mulai terlihat.
Ketatnya kompetisi pun dikatakan menjadi pintu masuk bagi risiko. Menurut Edward, tingkat kegagalan suatu perusahaan akan makin tinggi seiring dengan ketatnya kompetisi yang berlangsung ke depannya, di mana persaingan antara perusahaan rintisan di sektor-sektor yang populer bakal makin panas.
Seperti diketahui, beberapa sektor seperti kesehatan, dagang-el, pendidikan, logistik, agribisnis, dan teknologi finansial merupakan vertikal yang sedang populer lantaran memiliki performa menjanjikan selama pandemi Covid-19 melanda.
Selain itu, peluang bertahan perusahaan rintisan juga bergantung pada strategi pertumbuhan yang dijalankan serta perhitungan dalam meraup keuntungan.
Kedua hal tersebut, dinilai sulit untuk dicapai pada saat ini. Pihak investor pun diminta untuk jeli dalam menganalisis tren yang sedang berlangsung maupun sektor yang akan didanai.
Meski demikian, investasi yang dilakukan di era kenormalan baru juga memberikan manfaat tersendiri bagi para investor.
"Soalnya, kompetisi pendanaannya masih berada ditahap awal, sehingga pilihan serta kemudahan dalam bernegosiasi bagi para investor menjadi lebih banyak saat ini dibandingkan dengan periode 'bubble' ketika uang yang dikucurkan masih 'dibakar'.