Bisnis.com, JAKARTA – Sudah sekitar 100 hari sejak para ilmuwan menemukan adanya bintik matahari yang terlihat, menunjukkan bahwa benda angkasa pusat tata surya itu memasuki fase yang disebut dengan fase solar minimum.
Kejadian ini telah menimbulkan sejumlah kekhawatiran di media sosial tentang kemungkinan fenomena zaman es yang akan datang. Akan tetapi, para peneliti dan ilmuwan mengatakan bahwa kita seharusnya tidak perlu khawatir tentang hal ini.
Laporan SpaceWeather.com menyebut bahwa sepanjang tahun ini, matahari telah tidak berkegiatan 76 persen, sementara pada tahun lalu matahari tidak berkegiatan 77 persen. Dua tahun berturut-turut terjadi spotlessness menambah rekor minimum matahari.
Adapun, Dean Pesnell dari Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA mengatakan bahwa setiap 11 tahun, bintik matahari memudar dan membawa periode yang relatif tenang. “Ini disebut dengan solar minimum. Dan itu adalah bagian rutin dari siklus sunspot,” katanya seperti dikutip Express, Senin (18/5).
Laporan NASA pada 2014 mengatakan bahwa ada tingkat bintik matahari dan sinar matahari yang tinggi. Laporan itu menyebut matahari tidak menjadi lebih redup selama masa-masa ini, tetapi aktivitas mataharinya berubah bentuk.
Astronom Tony Phillips mengatakan bahwa solar minimum sedang berlangsung dan ini menunjukkan tingkatan yang dalam, “Hitungan sunspot menunjukkan itu adalah salah satu yang terdalam pada abad ini,” katanya.
Dia melanjutkan, medan magnet matahari menjadi lemah dan memungkinkan adanya sinar kosmik ekstra ke tata surya. Kelebihan sinar kosmik dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan pelancong di udara kutub dan memengaruhi elektro-kimia atmosfer atas bumi.
Beberapa pihak berteori bahwa kondisi ini dapat menyebabkan gagal panen, kelaparan, hingga dingin yang menusuk. Laporan Pennlive mengatakan para ilmuwan mengindikasi bahwa jika kita masuk ke fase yang disebut grand solar minimum, maka itu dapat mengimbangi pemanasan global yang terjadi.
“Bahkan jika grand solar minimum bertahan selama 1 abad, suhu global akan terus menghangat. Karena lebih banyak faktornya, daripada hanya variasi dalam output matahari yang mengubah suhu global. Faktor itu berasal dari emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia,” NASA melaporkan.
Dikutip dari Newyorkpost, Ilmuwan NASA khawatir kondisi ini bisa menjadi pengulangan Dalton Minimum, yang terjadi antara 1790 dan 1830 yang mengarah ke periode dingin yang brutal, kehilangan panen, kelaparan, dan letusan gunung berapi yang kuat.
Suhu merosot hingga 2 derajat Celcius (3,6 derajat Fahrenheit) selama 20 tahun, menghancurkan produksi pangan dunia.
Pada 10 April 1815, letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2.000 tahun terjadi di Gunung Tambora di Indonesia, menewaskan sedikitnya 71.000 orang.
Ini juga menyebabkan apa yang disebut Tahun Tanpa Musim Panas, dan tahun 1816 - juga dijuluki "delapan ratus tahun dan membeku sampai mati" ketika ada salju di bulan Juli.