Sampah Antariksa Capai Ratusan Juta Unit, Apa Dampaknya pada Bumi?

Mia Chitra Dinisari
Sabtu, 16 Mei 2020 | 16:00 WIB
Konsep yang menggambarkan 100 lebih planet yang ditemukan Teleskop Antariksa Kepler milik NASA, termasuk empat yang seukuran Bumi./NASA
Konsep yang menggambarkan 100 lebih planet yang ditemukan Teleskop Antariksa Kepler milik NASA, termasuk empat yang seukuran Bumi./NASA
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -  Seiring semakin populernya teknologi antariksa di berbagai negara, jumlah benda antariksa buatan pun terus meningkat. Begitupun dengan sampah antariksa yang dihasilkannya.

Menurut Lapan RI dikutip dari situs resminya, jika berdasarkan benda-benda berukuran 10 cm ke atas maka jumlah sampah saat ini diperkirakan telah mencapai lebih dari 34.000. Sebagian besar benda-benda ini bisa diamati dengan baik sehingga bisa dibuat katalog orbitnya.

Benda dalam katalog orbit bisa diproyeksi di mana lokasinya di masa depan sehingga antisipasi bisa dilakukan sekiranya diperkirakan tabrakan akan terjadi.

Bagaimana jika memperhitungkan benda-benda kecil di luar katalog? Hingga Februari 2020, jumlah benda yang ukurannya antara 1 hingga 10 cm diperkirakan sebanyak 900.000. Adapun benda berukuran antara 1 mm hingga 1 cm diperkirakan sebanyak 128 juta.

Jumlah benda-benda kecil ini diketahui dari pengukuran dengan menempatkan sensor di luar angkasa (in situ measurement) dan pemodelan.

Dilihat dari ukurannya, sampah berukuran antara 1 hingga 10 cm lah yang paling mengkhawatirkan. Kenapa? Karena mereka ini cukup kecil sehingga tidak bisa diamati dengan baik untuk dimasukkan ke dalam katalog orbit sementara di sisi lain mereka cukup besar sehingga masih memiliki daya rusak yang tinggi.

Karena banyaknya jumlah sampah antariksa itu, maka sejak tahun 1994 sampah antariksa (space debris) telah menjadi agenda khusus di Scientific and Technical Subcommitte (STSC) PBB yang bersidang sekali setiap tahun.

Lantas apa sebenarnya sampah antariksa (space debris atau space junk) itu? Seperti yang dimaksud oleh PBB dalam pedoman mitigasi sampah antariksanya pada dasarnya adalah semua benda buatan yang mengorbit Bumi namun tidak memiliki fungsi.

Benda-benda ini di antaranya adalah satelit-satelit yang sudah tidak beroperasi lagi karena sudah habis masa kerjanya dan roket-roket yang sudah menjalankan tugasnya mengorbitkan satelit.

Untuk gampangnya sebut saja mereka dengan satelit dan roket bekas. Tapi itu hanya sebagian kecil dari populasi sampah antariksa yang sebagian besar berupa serpihan-serpihan kecil yang berasal dari satelit dan roket yang pecah (fragmentation debris). Kenapa pecah?

Ada dua penyebab mengapa satelit atau roket pecah. Pertama karena meledak; kedua karena tertabrak. Ledakan bisa terjadi pada satelit atau roket bekas yang masih menyisakan bahan bakar di tanki atau saluran bahan bakarnya.

Ini terjadi jika ada kebocoran atau percampuran komponen-komponen bahan bakar akibat pengaruh lingkungan antariksa terhadap satelit atau roket bersangkutan yang selanjutnya memicu self-ignition. Adapun tabrakan bisa terjadi melalui dua cara: tanpa disengaja dan disengaja. Tabrakan yang tanpa disengaja terjadi jika benda bersangkutan ditabrak oleh benda antariksa lainnya secara alami; tabrakan yang disengaja terjadi jika kejadiannya memang direncanakan.

Apa kontributor terbesar dalam populasi sampah antariksa? Sebelum tahun 2007, kontributor terbesar sampah antariksa adalah serpihan karena ledakan. Akan tetapi setelah itu serpihan akibat tabrakan antara dua benda antariksa mengambil alih status tersebut. Ini terjadi ketika China menembak satelit bekas mereka bernama Fengyun-1C yang mengorbit di ketinggian sekitar 850 km untuk menguji sistem anti satelit mereka pada 11 Januari 2007.

Satelit berbobot 960 kg ini pecah berantakan menghasilkan ribuan sampah baru yang tersebar di ketinggian 200 hingga di atas 4.000 km. Karena ketinggiannya, hingga kini baru sebagian kecil sampah tersebut yang jatuh ke Bumi dan habis terbakar. Biasanya uji anti satelit yang dilakukan negara lain dilakukan di ketinggian yang cukup rendah sehingga sampah yang dihasilkan tidak terlalu lama mengorbit.

Sampah antariksa juga bisa berupa benda apa saja yang terlepas di antariksa baik yang tidak disengaja maupun disengaja. Yang tidak disengaja seperti sarung tangan astronot, serpihan cat (paint flakes) dan pelindung permukaan (surface coating), dan lain-lain.

Yang disengaja adalah yang digolongkan mission related debris yakni sampah yang sengaja dilepaskan saat satelit dibawa oleh roket ke orbit atau selama satelit beroperasi seperti tutup lensa atau teleskop, baut, tanki bahan bakar yang sudah kosong, dan lain-lain. Selain benda-benda yang masih mengorbit Bumi, sampah antariksa juga mencakup benda-benda antariksa yang sedang mengalami reentry di atmosfer.

Dampak pada bumi

Sampah antariksa menjadi perhatian karena berpotensi mengganggu bahkan merusak satelit (atau apapun wahana antariksa) yang masih beroperasi. Ini dikarenakan kecepatannya yang luar biasa sehingga sampah yang berukuran sangat kecil pun memiliki energi yang cukup besar untuk menimbulkan kerugian.

Sampah antariksa bisa bergerak dengan laju mencapai 7 km/detik (25 ribu km/jam). Akibatnya, sampah dengan berat 5 kg memiliki energi yang sebanding dengan sebuah mobil yang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam. Dalam sebuah tabrakan antara dua benda antariksa buatan, rata-rata laju relatif antara kedua benda adalah sekitar 11 km/detik (mendekati 40 ribu km/jam). Oleh karena itu tabrakan dengan sampah yang berukuran cukup besar mampu menghancurleburkan sebuah satelit seperti yang terjadi pada 10 Februari 2009.

Ketika itu satelit bekas milik Rusia bernama Cosmos 2251 menabrak satelit Iridium 33 milik Amerika Serikat yang masih beroperasi. Ribuan sampah baru kembali tercipta memperparah polusi di antariksa.

Sampah yang lebih kecil bahkan berukuran 1 mm pun tetap berpotensi merusak jika menabrak komponen satelit yang sensitif seperti lensa atau panel surya. 

Tapi, kecepatan saja tidak menceritakan semuanya. Hal yang menjadikan sampah antariksa akhirnya menjadi isu internasional adalah jumlahnya yang terus bertambah. Jika pertambahan ini terus berlangsung maka kepadatan di wilayah orbit tertentu suatu saat akan terlalu tinggi sehingga jika di situ terjadi tabrakan antara dua benda maka serpihan-serpihan yang terjadi akan memicu terjadinya tabrakan yang lain. Pada gilirannya, tabrakan yang lain ini akan memicu tabrakan yang lain lagi. Kejadian ini akan terus berulang sehingga terjadi reaksi berantai tabrakan benda antariksa yang dikenal dengan nama Kessler syndrome. Wilayah orbit yang diperkirakan akan mengalami skenario ini pertama kali adalah wilayah orbit rendah yang berada di ketinggian kurang dari 2000 km.

Jika Kessler syndrome sampai terjadi maka aktivitas keantariksaan bisa terhenti. Satelit-satelit yang sebelumnya beroperasi menjadi rusak/hancur dan di sisi lain tidak ada yang berani meluncurkan satelit baru. Ini akan berdampak nyata pada kehidupan umat manusia saat ini. Kenapa? Karena satelit telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita saat ini.

Teknologi berbasis satelit (teknologi antariksa, space technology) ramai digunakan untuk keperluan komunikasi, navigasi, informasi cuaca dan bencana alam, penelitian, keamanan nasional, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper