Pertengahan tahun lalu, ketika menjadi salah satu peserta Third Asia Pacific News Literacy Conference di Taipei, Taiwan yang diselenggarakan oleh Facebook dan National Chengchi University, salah satu hal yang kami obrolkan adalah perihal tren video on demand (VOD).
Obrolan agak seru karena negara produsen serial Meteor Garden yang tenar di era awal 2000-an itu sudah masuk ke Indonesia melalui raksasa CatchPlay yang merupakan bandar penyalur film Hollywood untuk wilayah Tiongkok dan Taiwan.
Sejak 2016 hingga 2019, melalui kerja sama dengan anak usaha Telkom, IndiHome, rupanya konten digital dari Taiwan yang didistribusikan berhasil menggapai 2,6 juta pelanggan di Indonesia. CatchPlay sekaligus layanan VOD premium pertama yang dimiliki IndiHome.
Baca Juga Perang Konten Netflix vs HOOQ |
---|
Hampir bersamaan dengan CatchPlay, masuk Iflix asal Malaysia. Tak beda dengan CatchPlay, Iflix adalah bandar konten berseri dari Asia dan Hollywood. Hanya dalam dua tahun, Iflix mengklaim sudah punya 6,2 juta pengguna di Indonesia.
Melihat gurihnya pasar Indonesia, menyusul HOOQ dari Singapura yang teken kerja sama dengan IndiHome pada 2017. HOOQ adalah kongsi Sony Pictures, Warner Bros., dan Singtel yang baru berdiri pada 2016 dan fokus mendistribusikan layanan VOD di Asia Tenggara dan India.
Hooq mengklaim pada usianya yang belum genap dua tahun, jumlah pelanggan mereka pada pertengahan tahun 2018 sudah mencapai 10 juta. Hebat betul. Namanya juga klaim!
Menyusul tren K-Pop di Tanah Air, setelah HOOQ hadir Viu asal Korea Selatan. Tak mau kalah klaim, layanan VOD milik PCCW Media itu mengklaim hanya setahun langsung meraup delapan juta pelanggan.
Ini belum termasuk Google Play yang anteng saja bisa beroperasi tanpa masalah meski tak terdengar pernah teken kerja sama dengan Telkom maupun Telkomsel.
Bagaimana pemain lokal bereaksi? Seperti biasa: kalah cepat, kalah kualitas dan kalah kuantitas konten. Padahal sejak 2014, Indonesia sudah memiliki penyedia VOD yakni Vidio.com milik PT Surya Citra Media Tbk, anak perusahaan Emtek yang juga memiliki Bukalapak yang kemudian membuka layanan Bukanonton.
Selain Vidio.com, sejak 2015 ada pula MNC Play Media milik konglomerasi MNC yang lantas berkembang menjadi MNC Play Media. Di belakang Vidio dan MNC, hadir Genflix lalu Go-Play milik Go-Jek. Berapa jumlah pelanggannya? Agak sedih jika dibandingkan dengan klaim pemain asing.
Lebih menyedihkan lagi jika kita melihat selama periode 2014-2019 Indonesia memiliki badan setara kementerian yakni Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), VOD dalam negeri bagai ayam kampung yang gemuk di gudang Bulog.
Satu-satunya pemain VOD dalam negeri yang kinerjanya berkilau hanya VOD yang disediakan PT Telekomunikasi Selular yakni MAXstream yang dirilis pada Juni 2018. Sebagai cucu perusahaan pelat merah dan memproteksi jaringannya dari pengguna Netflix, sampai tahun lalu, diklaim pengunduh aplikasi MAXstream mencapai 17 juta. Soal kebenarannya? Namanya saja klaim!
Regulasi vs Netflix
Ini belum soal bagaimana regulasi UU Penyiaran 2002 yang ditujukan untuk mengawasi siaran gratis (free to air) tidak memiliki kuasa terhadap konten yang ada di layanan VOD. Hal ini sebenarnya telah diungkapkan berkali oleh Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) sejak 2013 dan hingga kini pembahasan regulasi penyiaran baru dibiarkan terbengkalai oleh DPR.
Ini belum termasuk Lembaga Sensor Film (LSF) yang tak berdaya karena masih mengandalkan UU Perfilman tahun 2009 yang usang dan tidak memiliki aturan pelaksanaan.
Belakangan lembaga yang bertanggung jawab dengan urusan penyiaran yakni Kominfo pun mengakui hal yang sama. Alhasil sejauh ini, pemerintah tak ubahnya sosok polisi di film Bollywood yang selalu telat sigap beraksi karena mengandalkan laporan dari masyarakat.
Menariknya, di tengah ketidakpastian regulasi yang ada, muncul ketegasan Kominfo terhadap pemain VOD asal Amerika, Netflix. Sejumlah konten Netflix selama ini saya nikmati melalui—maaf—penyedia situs film gratisan yang sudah ditutup pemerintah, meski masih bisa diakses lewat cara lain.
Mengapa Netflix menjadi ramai? Tak lain karena sampai saat ini layanan Netflix diblokir oleh jaringan Telkom dan Telkomsel. Mengapa diblokir? Tak jelas! Hal ini karena semua menteri Jokowi, baik Rudiantara maupun Johnny Gerard Plate tidak pernah tegas bahkan cenderung asal komentar.
Sedemikian mengancamkah Netflix? Penulis akan mulai dari statistik pelanggan di Indonesia. Hanya saja karena bukan perusahaan terbuka dan tidak berbasis di Indonesia, berapa jumlah pelanggan Netflix cukup misterius.
Data dari dua lembaga Statista.com dan Nakono.com menunjukkan estimasi pelanggan aktif Netflix sejak 2017 hingga 2020 cenderung naik. Dari hanya 94 ribuan pelanggan, diperkirakan pada 2020 akan mencapai lebih dari 900 ribuan pelanggan.
Data tersebut belum termasuk pengakses Netflix yang menggunakan Virtual Private Network (VPN) yang bisa dengan mudah digunakan dengan membayar sangat murah. Kenapa memakai VPN? Ya karena Telkom (IndiHome) dan Telkomsel memblokir Netflix.
Bagaimana dengan pemain VOD lain yang bekerjasama dengan Telkom dan Telkomsel? Sejauh ini aman karena bekerjasama. Apakah artinya dengan bekerjasama tersebut maka konten yang disediakan dapat diawasi? Tidak!
Bagaimana upaya Netflix yang menyumbangkan sedikitnya Rp13 miliar ke Kemendikbud dalam bungkus untuk meningkatkan kualitas sinema Indonesia, apakah akan memicu iba Menteri Nadiem Makariem? Belum tentu!
Mas menteri yang lulusan Harvard tentu sadar uang sumbangan Netflix paling hanya akan menghasilkan tak lebih dari satu film berkualitas. Sebagai perbandingan biaya produksi film Laskar Pelangi pada 2008 menghabiskan dana Rp9 miliar, sementara film Habibie-Ainun tahun 2016 habis Rp13 miliar!
Ini belum lagi soal perilaku lancung Netflix yang tidak setor pajak ratusan miliar ke Indonesia. Masa? Hitung saja uang yang dibayarkan pelanggan Netflix ke anak perusahaan Netflix di Belanda yang menerima pembayaran penonton Indonesia, yaitu Netflix International B.V, tak sepeserpun masuk ke kas Indonesia.
Kalau Netflix yang sudah meraup untung banyak dan tak mau patuh aturan, buat apa juga kita membela Netflix dengan gegap gempita?
Penulis adalah pengajar UBSI dan pernah mengabdi sebagai analis konten siaran KPI Pusat