Bisnis.com, JAKARTA — Persaingan operator seluler dalam menjaring pelanggan baru dinilai makin sehat dari tahun ke tahun seiring dengan kian rasionalnya harga layanan data yang ditawarkan oleh penyedia jasa telekomunikasi.
Berdasarkan data Deutsche Bank, sejak 2015—2018 rerata pendapatan operator seluler dari layanan data terus menurun. Puncaknya, pada 2018, operator mencatatkan rata-rata pendapatan data yang relatif kecil.
PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT XL Axiata Tbk. dan PT Indosat Tbk. masing-masing memperoleh rata-rata pendapatan dari data sebesar Rp10.500/GB, Rp6.800/GB dan Rp5.200/GB pada 2018. Capaian-capaian tersebut merosot dari torehan pendapatan data operator seluler pada 2015 yang menembus kisaran Rp36.000—Rp44.000.
Kecilnya pendapatan data operator seluler disinyalir akibat besarnya konsumsi data masyarakat pada saat itu dan kompetisi ketat yang membuat operator saling banting harga layanan. Secara keseluruhan, pendapatan industri telekomunikasi pada 2018 tercatat menurun hingga 7 persen.
Meski demikian, kondisi industri telekomunikasi diklaim mulai membaik pada 2019. Operator seluler mulai membenahi sejumlah penyebab merosotnya pendapatan pada 2018, khususnya dari sisi harga layanan data.
Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Danny Buldansyah mengatakan bahwa pada 2019, operator seluler mulai menyesuaikan harga layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan biaya operasional dan ekspansi jaringan selama 2019.
Dengan tarif yang makin rasional tersebut, Danny memperkirakan pada 2019, industri telekomunikasi bertumbuh, minimal sebesar 7%.
Danny belum dapat memberi angka pasti karena masih menunggu laporan akhir tahun yang dikeluarkan oleh operator.
“Kompetisi harga masih ada, tetapi tidak terlalu agresif seperti tahun 2018. Operator seluler lebih rasional dalam menetapkan tarif,” kata Danny kepada Bisnis, Selasa (7/1/2020).
Danny berpendapat bahwa persaingan harga yang makin sehat juga disebabkan oleh regulasi regristrasi prabayar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dahulu harga layanan murah selalu dibundel dengan kartu perdana. Operator seluler menawarkan bonus kuota belasan, bahkan puluhan gigabita kepada masyarakat yang bersedia membeli kartu perdana baru.
Hal tersebut dilakukan operator untuk meningkatkan nilai perusahaan seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan baru karena membeli kartu perdana.
Namun, hadirnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 14/2017 tentang Regristrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi membatasi praktik perang harga tersebut.
Pemerintah mengharuskan pengaktifan kartu sim menggunakan nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga pelanggan. Masyarakat juga hanya diperbolehkan memiliki tiga nomor untuk masing-masing operator.