Bisnis.com, JAKARTA - PT Hutchison 3 Indonesia dan PT Smartfren Telecom Tbk merasa terbebani dengan rencana Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang mengharuskan aktivasi regristrasi kartu prabayar dilakukan di gerai operator.
Wakil Direktur PT Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah mengatakan bahwa saat ini sejumlah perbankan telah mempermudah nasabahnya dalam pembuatan akun, sehingga proses pembuatan dapat dilakukan dari jarak jauh.
Jika Kemenkominfo mendorong agar aktivasi kartu prabayar meniru cara perbankan yang lama, yang mewajibkan pelanggan datang ke kantor atau gerai, kata Danny, itu merupakan sebuah kemunduran.
“Semuanya dahulu offline dan harus datang ke kantor, sekarang sudah online. Menurut saya ini melawan arus,” kata Danny kepada Bisnis.com.
Dia juga berpendapat aktivasi kartu prabayar di gerai akan membuat biaya operasional operator membengkak.
Sebab, operator harus memperbanyak gerai dan menambah sumber daya manusia. Operator tidak akan sanggup untuk membuka gerai sampai ke pelosok desa.
Selain itu, rantai penjualan kartu SIM juga tidak terbatas di operator namun juga ada ritel. Dengan mengharuskan pelanggan datang ke gerai maka para pedagang ritel akan terancam bisnisnya dan tutup.
Dia mengatakan bahwa implementasi regulasi regristrasi kartu prabayar saat ini sudah bagus. Hanya saja, pengawasannya perlu diperketat, begitu juga sanksi yang diberikan kepada para pelanggar.
“Kalau ritel tutup siap tidak kita menerima gejolak sosial yang ada,” kata Danny.
Sementara itu, Deputy CEO PT Smartfren Telecom Tbk. mengapresiasi rencana tersebut untuk mengatasi penipuan dan spam. Meski demikian, dia juga meminta pemerintah mengkaji lagi mengenai rencana regristrasi di gerai operator.
Sebab, pengeluaran operator akan membengkak jika peraturan tersebut dilakukan. Operator harus mengocek kantong untuk membangun gerai baru di seluruh titik jaringan perseroan.
Dia juga mengatakan bahwa saat ini proses KYC di perbankan juga sudah digital, tidak perlu datang ke kantor dan berfoto seperti membuat pasport. Sehingga tidak tepat jika meniru cara perbankan dengan datang ke gerai.
“Smartfren belum sampai KYC face recognation, kalau perbankan kan [jumlah pelanggan] masih terbatas sedangkan kita kan jutaan,” kata Djoko.
Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Indosat Tbk. Turina Farouk mengatakan bahwa saat ini perseroan masih mengkaji lebih dalam mengenai rencana tersebut.
Skema yang dilakukan Indosat Ooredoo dalam mengenali pelanggannya adalah dengan menerapakan regristrasi secara pribadi ataupun melalui gerai sebagaimana yang termaktub dalam peraturan yang berlaku.
“Self registration hanya menggunakan dua parameter yaitu NIK dan KK untuk kemudian dilakukan validasi ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,” kata Turina.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa sepakat bahwa aturan registrasi perlu diperbaiki. Dia mengusulkan agar pemerintah tidak membatasi jumlah nomor tiap orang yang boleh memiliki. Karena hal itu, kata Heru, merupakan pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapatkan akses komunikasi.
Heru juga mengusulkan agar metode registrasi dilengkapi dan diubah. Sistem KYC harus menggunakan cara modern. Misalnya dengan aplikasi dan foto pelanggan yang sedang memegang foto, sehingga pelanggan tidak perlu datang ke gerai.
“Sudah tidak sesuai itu [regristrasi dengan datang ke gerai] harus mengikuti perkembangan zaman. Aturan haruslah berpihak pada UMKM yang selama ini menunjang kemajuan telekomunikasi Indonesia. Jangan hanya berpihak pada pemain besar saja,” kata Heru.
Sementara itu, General Manager External Corporate Communications PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Aldin Hasyim mengatakan bahwa perseroan senantiasa mendukung regulasi pemerintah dalam pelaksanaan dan implementasi registrasi secata ketat. Menurutnya, hal tersebut bermanfaat bagi kesehatan industri telekomunikasi.
“Dalam implementasi regulasi registrasi, Telkomsel mengedukasi kepada pelanggan agar melakukan pengisian data NIK dan No. KK secara benar dan valid,” kata Aldin.
Sebelumnya, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) akan mengatur kewajiban operator untuk mengenali pengguna layanannya atau know your customer dalam revisi Peraturan Menteri No. 14/2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Pertimbangan dari penyempurnaan peraturan menteri ini adalah penyelenggara jaringan bergerak seluler wajib mengetahui secara pasti siapa pelanggannya.
“Jadi konsep know your customer [KYC] seperti yang ada di sektor perbankan dapat diterapkan juga kepada pelanggan jasa telekomunikasi, khususnya seluler prabayar,” kata Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi.
Dia menambahkan bahwa BRTI menyerahkan mekanisme prinsip KYC kepada para operator seluler, dengan catatan operator wajib mengetahui siapa pelanggannya.
Salah satu mekanisme yang diusulkan oleh BRTI dalam penerapan KYC adalah kewajiban registrasi pelanggan di gerai operator agar terjadi proses tatap muka.
“Atau misalnya dengan face recognition technology, finger print technology, atau artificial intelligence. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya,” kata Prihadi.