Bisnis.com, JAKARTA - Menjamurnya jumlah penyelenggara jaringan dan jasa layanan internet saat ini membuat upaya merger dan akuisisi atau konsolidasi, antarperusahaan telekomunikasi menjadi suatu kebutuhan, agar tercipta industri yang lebih sehat.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Muhammad Arif Angga mengatakan bahwa saat ini jumlah perusahaan penyelenggara jaringan di Indonesia yang mengantongi izin lebih dari 100 perusahaan. Adapun, yang merupakan anggota Apjatel hanya 47 perusahaan.
Dia mengatakan dengan jumlah yang besar tersebut, konsolidasi dapat menjadi starategi untuk membuat industri jaringan telekomunikasi makin sehat.Sebab, dengan jumlah pemain yang banyak keutungan yang diperoleh masing-masing perusahaan kurang optimal.
“Saat ini terlalu banyak pemain bahkan terkadang beropersai di ruang yang sama, misalnya suatu daerah hanya ada 10 kue untuk 10 operator, ini justru ada 20 operator sehingga ada yang tidak kebagian,” kata Arif kepada Bisnis.com, Selasa (19/11/2019).
Tidak hanya itu, sambungnya, konsolidasi antara penyelenggara jaringan juga akan memperluas cakupan operator jaringan dan membuat biaya operasional makin tertekan.
Banyaknya jumlah pemain tidak hanya terjadi di industri penyedia jaringan, melainkan juga di industri penyedia jasa internet.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Jamalul Izza mengatakan bahwa kemudahan perizinan untuk menggelar layanan jasa internet, telah mendorong pertumbuhan jumlah penyedia layanan internet hingga mencapai sekitar 500 perusahaan.
Meskipun jumlah pemain yang bersaing di industri penyedia layanan internet sangat banyak,kata Jamal, tidak berdampak pada kesehatan industri. Sebab, penetrasi internet tetap masih lambat sedangkan peminatnya sangat banyak.
Jamal mengatakan bahwa permasalahan industri penyedia jasa internet adalah sikap operator penyedia jaringan yang tebang pilih dalam menyewakan jaringan.
Menurutnya, penyedia jaringan yang juga mengantongi izin sebagai penyelenggara jasa rentan akan konflik kepentingan, sehingga sejumlah wilayah berkembang yang membutuhkan layanan internet, ditutup aksesnya oleh penyelenggara jaringan, dan dijadikan eksklusif.
“Masalahnya adalah jangan sampai 500 ISP ini hanya beroperasi di kota kota besar saja. Karena persaingannya cukup banyak. penetrasi kecil dan kebutuhan besar. Ada operator yang menjadikan izin di daerah kebutuhan besar menjadi eksklusif. Dia tidak mau memberi layanan jaringan kepada operator jasa yang ada di sana. Banyak terjadi, di daerah timur khususnya,” kata Jamal.
Jamal mengatakan untuk mengatasi permasalahan tersebut, regulator harus memantau perizinan yang dikeluarkan. Di samping itu, menurutnya juga perlu ada aturan main yang terbuka antara penyedia jaringan dengan penyedia jasa.
“Kalau mau makin sehat, maka ikuti aturan main yang penyedia jaringan harus ke jasa. Sekarang serba susah karena penyedia jaringan punya izin jasa juga, sehingga mereka bersaing dengan penyelenggara jasa,” kata Jamal.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan mengenai konflik kepentingan dalam penyewaan jaringan, pemerintah harus hadir dan memberikan pengawasan dalam persaingan bisnis.
Dia juga berpendapat jumlah pemain penyedia layanan internet saat ini terlalu banyak, sedangkan 80% pasar industri hanya dikuasai oleh 5 pemain besar. Mengenai hal ini, konsolidasi dan sharing infrastruktur antara penyedia jasa internet menjadi jawabannya.
“Seharusnya ada safe guard berupa pengawasan dari pemerintah bahwa pemilik infrastruktur harus memberikan akses dan tarif sewa yang sama kepada setiap pemain jasa,” kata Kristiono.
Terbuka Konsolidasi
Sementara itu, beberapa penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi telah menyatakan terbuka untuk konsolidasi.
PT Link Net Tbk. (LINK) dan PT MNC Vision Network Tbk. (IPTV) menyatakan bahwa keduanya membuka peluang untuk menjalin konsolidasi dengan perusahaan lain. MNC Vision mengklaim telah menjalin pembicaraan dengan 3 perusahaan penyedia jaringan telekomunikasi, untuk merger dan akuisisi.
Direktur Utama PT MNC Vision Networks Tbk. Ade Tjendra mengatakan bahwa konsolidasi bertujuan untuk memperkuatkan keberadaan perusahaan di industri jasa layanan intener dan tv kabel. Sebab dengan konsolidasi maka nilai perusahaan akan makin besar, biaya operasional lebih efisiens, dan persaingan juga makin sehat.
Hingga September 2019, MNC Vision mengklaim memiliki pelanggan hampir mencapi 2,5 juta pelanggan. MNC Play yang merupakan anak perusahaan, menyumbangkan sekitara 300 ribu pelanggan, dengan jumlah kabel yang melewati rumah atau homepass mencapai 1,5 juta.
“Tunggu rilis formal kami dalam waktu dekat. No Comment, semua proses dalam tahap finalisasi dan subject to due dilligence satisfactory,” kata Ade.
Sementara itu, Presiden Direktur dan CEO PT Link Net Tbk. Marlo Budiman mengatakan sebagai perusahaan yang mayoritas dikuasi oleh publik dengan 38%, perseroan diamanatkan untuk terus meningkatkan kinerja.
Meski demikian, jika ada penawaran untuk berkonsolidasi dengan harga yang menarik, maka pemegang saham membuka peluang untuk berkonsolidasi.
“Link Net ini sudah menarik banyak minat investor, bukan sekarang saja. Kami terbuka untuk konsolidasi,” kata Marlo.
PT Supra Primatama Nusantara (Biznet) juga menyatakan hal yang serupa. Meski belum berencana melakukan konsolidasi dalam waktu dekat, Biznet terbuka untuk bersinergi selama penawaran yang terjadi menguntungkan.
Presiden Direktur & CEO Biznet Adi Kusuma mengatakan bahwa saat Biznet masih berfokus untuk membangun jaringannya secara organik.
Meski demikian, sambung Adi, jika kemudian ditemukan perusahaan yang memiliki aset dan cocok untuk bersinergi, Biznet membuka peluang untuk hal tersebut.
“Kalau memang ada aset yang cocok dan bisa sinergi, kita tentu berniat untuk explore,” kata Adi.