Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Kementerian Komununikasi dan Informatika yang menunda kenaikan biaya hak pengunaan (BHP) frekuensi televisi menimbulkan asumsi sejumlah pihak.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat bahwa BHP televisi lebih rendah dibandingkan dengan telekomunikasi karena sifat dan beban yang diemban berbeda.
Dia mengatakan dari sisi frekuensi industri penyiaran menggunakan frekuensi publik dan free to air, sehingga lebih murah dibandingkan dengan industri telekomunikasi.
Hanya saja, dari sisi kepemilikan, industri televisi lebih kompleks sebab berbagai kepentingan terdapat di dalamnya.
Dia mengatakan saat ini beberapa lembaga penyiaran swasta (LPS) dimiliki oleh politisi, sehingga dalam mengatur industri penyiaran. termasuk menaikan BHP, butuh komitmen yang kuat.
“Mengatur industri televisi kan sedikit rumit karena mayoritas [LPS] dimiliki politisi. Jadi bukan soal perlu atau tidak perlu [menaikan BHP], melainkan bisa tidak mengatur, dengan tidak membawa masalah teknis dan regulasi ke wilayah politik,” kata Heru kepada Bisnis.com, Selasa (29/10/2019).
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Dia berpendapat sebagai sumber daya yang terbatas sudah seharusnya nilai frekuensi disesuaikan dengan nilai ekonomi yang ada saat ini.
“Semua pemangku kepentingan duduk bersama untuk menghitung berapa BHP yang sesuai dengan nilai ekonomi pada saat ini, hal ini secepatnya karena secara luas harus menguntungkan bagi masyarakat,” kata Ian.
Ketua Bidang Penyiaran Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Hardijanto Saroso mengusulkan agar Kemenkominfo mengkaji ulang mengenai rencana pembatalan kenaikan BHP frekuensi televisi.
Hardijanto mengatakan sejak 1989 BHP frekunsi tidak pernah naik. Padahal, inflasi setiap tahun terus terjadi. Saat ini tarif BHP frekuensi televisi sekitar Rp50 juta per stasiun atau kanal.
Seandainya satu kanal membutuhkan pita lebar frekuensi atau bandwith sebesar 6 MHz maka, diperkirakan terdapat sekitar 18 kanal untuk rentan 698 MHz – 806 MHz.
Jika saja Kemenkominfo menaikan BHP frekuensi menjadi Rp100 juta - Rp200 juta, maka menurut Hardijanto, estimasi potensi pendapatan baru negara dari BHP frekuensi televisi sekitar Rp151 miliar – Rp302 miliar.
Hanya saja, dalam menghitung kenaikan terdapat metode yang berbeda antara satu zona dengan zona yang lain. Sehingga perthitungan tersebut tidak dapat dipukul rata di 216 kabupaten tempat zona terbagi.
“Cukuplah dana itu untuk perbaikan, dengan teknologi digital yang masuk Kemenkominfo bersama industri, perlu mengevaluasi bagaimana agar industri makin baik,” kata Hardijanto.
Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syarfril Nasution meyakini penundaan kenaikan BHP frekuensi televisi telah melewati rangkaian kajian sebelum diambil keputusan.
“Kenaikan BHP frekuensi televisi adalah hak dari pada Kemenkominfo,” kata Syafril.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan tidak akan menaikan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi televisi dalam waktu dekat.
Dia mengatakan bahwa untuk menaikan BHP perlu dibahas lebih dalam dengan Kementerian Keuangan. Adapun peran Kementerian Komunikasi dan Informatika hanya lah perhitungan teknis.
“Jangan dahulu [dinaikan BHP frekuensi televisi] karena itu harus dibicarakan dengan Kementerian Keuangan sebagai otoritas yang memiliki wewenang untuk itu,” kata Johnny.
Dia mengatakan Kemenkominfo tidak ingin mendahului Kemenkeu mengenai kenaikan BHP televisi, tanpa ada pembicaraan dengan Kemenkeu.