Bisnis.com, JAKARTA — Upaya propaganda dengan tujuan memecah belah opini publik telah menjadi hal mainstream di jagat media sosial dewasa ini.
Trik dan teknik yang digunakan dalam upaya propaganda komputasional tersebut pun beragam, mulai dari menaikkan volume informasi yang mengarakterisasi kelompok masyarakat tertentu, hingga membatasi level perhatian dan tingkat kepercayaan pengguna internet.
Berdasarkan laporan terbaru Oxford Internet Institute berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation terungkap bahwa upaya manipulasi di media sosial (medsos) yang terorganisasi di 70 negara pada 2019 meningkat 150% dalam 2 tahun terakhir.
Pada 2018, tercatat upaya manipulasi di medsos terjadi di 48 negara, naik dari catatan setahun sebelumnya yang terjadi di 28 negara.
Pertumbuhan tersebut dipicu oleh makin maraknya pemain baru yang sedang bereksperimen dengan peralatan dan teknik-teknik propaganda komputasional selama masa-masa pemilihan umum.
Propaganda tersebut memanfaatkan akun-akun palsu, di mana dalam 3 tahun terakhir ditemukan kelaziman bahwa akun-akun tersebut dioperasikan oleh bot, manusia, dan cyborg.
Bagaimanapun, dibandingkan dengan bot dan cyborg, akun-akun palsu yang dioperasikan oleh manusia jumlahnya lebih besar. Pasalnya, akun-akun tersebut dikatakan mampu berkomunikasi lebih baik melalui komentar, cuitan, maupun pesan pribadi di media sosial.
Di 70 negara yang diteliti, sebanyak 60 di antaranya ditemukan akun-akun palsu yang dioperasikan oleh manusia, termasuk Indonesia, dengan aktivitas propaganda di media sosial yang bergerak dengan cara memperkuat konten dan media daring.
PERAN MANUSIA
Pakar Telematika Abimanyu Wahyu Hidayat mengatakan upaya penyebaran konten-konten negatif jelas membutuhkan otak manusia karena baik bot ataupun teknologi kecerdasan buatan tidak dapat melakukan hal tersebut secara mandiri.
Bot, lanjutnya, tidak memiliki kemampuan menciptakan kata-kata atau kalimat yang dapat mengarahkan pemikiran tertentu.
"Penyusunan kata atau kalimat itu dilakukan secara manual oleh seseorang yang kemudian diarahkan. Selebihnya, itu bot yang melaksanakan. Namun, banyaknya bot yang melakukan [upaya propaganda] itu membuat kesan seolah-olah hal itu dilakukan oleh bot," ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (6/10/2019).
Selain itu, respons-respons dari pengguna media sosial dikatakan tidak selalu mendapat jawaban dari bot. Tujuannya adalah agar pemberi pengguna media sosial selaku pemberi respons benar-benar menguasai topik yang dipropagandakan.
Di samping itu, besarnya market size serta tingkat keterjangkauan yang luas membuat Facebook masih menjadi arena utama yang digunakan oleh para pelaku penyebaran propaganda di media sosial untuk menjalankan aktivitasnya.
Belum lama ini, sebanyak 69 akun Facebook, 42 halaman, dan 34 akun instagram asal Indonesia dihapus karena melakukan tindakan tidak otentik yang terkoordinasi di lingkup domestik.
Di setiap satu atau dua halaman berisi konten terlarang dilaporkan diikuti oleh sebanyak 410.000 akun dan sebanyak 120.000 akun dilaporkan menjadi pengikut dari akun instagram yang dihapus tersebut dengan perkiraan biaya yang dikeluarkan mencapai US$300.000.
Dalam lingkup global, sebanyak 211 akun Facebook, 107 halaman, 43 grup, dan 87 akun Instagram dihapus oleh Facebook dari 4 negara dalam tiga operasi terpisah. Operasi pertama ditemukan Uni Emirat Arab, Mesir, dan Nigeria, sedangkan dua operasi lainnya ditemukan di Mesir dan Indonesia.
Lebih jauh, orang-orang yang berada di belakang tindakan menyimpang tersebut dilaporkan menggunakan akun palsu dalam mengelola halaman, menyebarkan konten, serta menggiring pengguna internet menuju situs off platform.
"Mereka mengunggah konten dalam bahasa Inggris dan Indonesia mengenai Papua Barat dengan beberapa halaman membagikan konten yang mendukung gerakan pro-kemerdekaan, sementara yang lain mengkritisi hal tersebut," ujar pihak Facebook di situs resminya akhir pekan lalu.
Meski berusaha menyembunyikan identitas masing-masing, tetapi investigasi yang dilakukan Facebook menemukan orang-orang di belakang aktivitas tersebut terkait dengan perusahaan media bernama InsightID.
Ketika dihubungi Bisnis.com, pihak Facebook mengatakan tidak dapat memberikan informasi lebih selain yang diungkapkan dalam situs resmi perusahaan.
PENGGUNAAN BUZZER
Secara terpisah, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pengerapan mengatakan pada era digital penggunaan buzzer merupakan hal yang lazim dilakukan, meskipun ada aturan yang harus dipatuhi baik itu aturan yang dibuat oleh platform maupun pemerintah.
Semuel mengatakan platform tidak akan mentolerir akun-akun palsu yang yang dioperasikan oleh bot. "Jika terdeteksi, maka akun-akun tersebut akan di take down," ujar Semmy kepada Bisnis.com, Minggu (6/10/2019).
Kemenkominfo sendiri tidak melarang penggunaan buzzer di internet selama konten yang disebarkan bukan dibuat oleh akun palsu, mencemarkan nama baik, mengandung ujaran kebencian, dan sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Adapun, pemerintah berencana menyusun pengaturan konten melalui pembahasan bersama dengan pihak platform. Ke depannya, bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab dalam pembersihan konten-konten negatif, tetapi juga platform.
Pemerintah, lanjut Semuel, akan menjalankan fungsi sebagai pengawas yang bertugas memberikan rambu-rambu kepada platform. "Jika platform tidak mengindahkan, maka pemerintah akan mendenda platform tersebut," tegas Semuel.