Bisnis.com, JAKARTA — Kasus pencurian data lintas negara dinilai semakin menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab penuh atas perlindungan data digital pribadi warganya. Namun, saat ini undang-undang terkait masih belum disahkan di Senayan.
Diektur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menjelaskan, kasus kebocoran data lintas negara yang terjadi belum lama ini sulit ditangani karena tidak adanya ketentuan perundang-undangan mengenai data digital pribadi.
Menurutnya, hal tersebut membuat kasus kebocoran data memiliki pertanggung jawaban hukum yang tidak jelas, termasuk soal bocornya data penumpang Malindo Air, salah satu anak perusahaan Lion Air Group.
"Kalau Undang-Undang [UU] Perlindungan Data Pribadi tidak segera diterbitkan akan menjadi ledakan isu di kemudian hari yang sebenarnya kontraproduktif," ujar Hendrikus pada Selasa (24/9/2019) di Jakarta.
Hendirkus menilai, saat ini sudah terdapat regulasi mengenai perlindungan data pribadi tetapi masih terpecah-pecah. Kemanan data nasabah perbankan, nasabah asuransi, pemilik saham telah terjamin, tetapi regulasi-regulasi tersebut belum secara utuh melindungi data pribadi dalam seluruh aktivitas digital.
Selain itu, regulasi perlindungan data itu pun, menurut Hendrikus, disusun sebelum ekonomi digital berkembang pesat. Oleh karena itu diperlukan payung hukum yang lebih luas untuk mengatur aktivitas ekonomi digital.
Dia menegaskan, sebenarnya perlindungan data digital pribadi sepenuhnya merupakan tugas negara melalui regulasi di tingkat UU. Selain menyangkut keamanan, keberadaan UU itu pun penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital.
"Ketika kita berbicara digital economy 4.0 itu pasti transaksinya selalu tidak bertatap muka, jelas data pribadi akan terekam dalam transaksi itu.
CEO PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) yang mengelola LinkAja, Danu Wicaksana, menjelaskan bahwa salah satu upaya perlindungan data digital pribadi dari penggunanya adalah uji penetrasi ancaman serangan digital secara berkala.
Dia menjelaskan, pihaknya beruntung memiliki standar keamanan data di atas industri teknologi finansial (tekfin) pada umumnya karena ditunjang oleh teknologi tiga bank shareholder-nya, yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Meskipun begitu, semua perusahaan tekfin menurutnya perlu mengantisipasi kemungkinan kebocoran data.
"Yang namanya standar bank bukan berarti bulletproof ya. Jadi, setiap bulan kami selalu mengadakan penetration test untuk melihat potensi-potensi bagaimana hacker-hacker baru ini bisa masuk [untuk mengakses data]," ujar Danu, Selasa (24/9/2019).