Bisnis.com, JAKARTA -- Transformasi digital di Indonesia yang berkembang pesat dinilai turut meningkatkan level tantangan keamanan siber bagi perusahaan.
CEO of Stonetreegroup, Patrick Dannacher, mengatakan kehadiran teknologi generasi lanjutan, seperti pembelajaran mesin (machine learning) menjadi salah satu hal yang mendorong semakin canggihnya para penjahat siber dalam menciptakan teknik yang lebih kompleks, efektif, dan berbahaya.
Selain itu, meningkatnya penggunaan perangkat pintar yang menghadirkan konektivitas juga memungkinkan para peretas untuk mengakses informasi keuangan atau pun informasi sensitif lainnya dengan lebih mudah.
"Dengan terhubungnya sekitar 20 miliar perangkat IoT pada 2020, maka akan tercipta pula peluang besar bagi penjahat siber untuk mengekploitasi kondisi tersebut," ujar Dannacher di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Namun, lanjutnya, tingginya intensitas serangan siber dalam beberapa waktu belakangan juga menimbulkan dampak positif di mana perusahaan dinilai menjadi makin antisipatif.
Total pengeluaran untuk keamanan siber di Asia Tenggara pun diperkirakan bertumbuh dengan mencapai US$5,45 miliar pada 2025 mendatang. Adapun, pada 2018, total pengeluaran untuk keamanan siber di Asia Tenggara hanya US$1,90 miliar.
Senior Vice President DigiCert untuk Asia Pasifik, Ray Garnie, menambahkan, di era perangkat saling terkoneksi karena terhubung oleh teknologi IoT, terutama router dan kamera yang menjadi target utama serangan terhadap IoT pada 2018, mendesak Indonesia untuk menggunakan pendekatan yang lebih luas dalam menangani masalah keamanan digital.