Bisnis.com, JAKARTA - LinkAja diharapkan bisa menjadi salah satu Unicorn di Indonesia. Dengan mimpi bisa memiliki valuasi hingga tembus US$1 miliar, berikut peluang dompet elektronik pelat merah itu untuk bersaing ketat dengan produk pesaing seperti, Go-Pay, OVO, dan Dana.
Produk pembayaran yang berbasis kode quick response (QR) itu resmi diluncurkan pada Minggu (30/6/2019). LinkAja saat ini mengklaim sudah memiliki sekitar 23 juta pengguna aktif dengan transaksi harian sebesar Rp1 miliar.
Punya target ambisius, perusahaan teknologi finansial (tekfin) garapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu menargetkan dapat mengantongi 20 hingga 40 juta pengguna pada 2021. Lantas seperti apa peluang dan tantangan tekfin garapan pemerintah untuk mencapai status unicorn?
Jaringan Kuat di BUMN
LinkAja merupakan sistem pembayaran yang dibentuk dari sinergi sejumlah perusahaan plat merah seperti Telkomsel yang memiliki porsi saham 25%, Bank Mandiri, BNI, dan BRI yang masing-masing memiliki 20% saham, BTN dan Pertamina masing-masing 7%. Lalu Jiwasraya menyusul dengan kepemilikan 1% saham.
Namun komposisi pihak yang terlibat bisa makin 'menggendut' pada putaran pendanaan kedua. Pasalnya sejumlah BUMN tambahan yang akan ikut bergabung seperti Jasa Marga, Kereta Api Indonesia (KAI), Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, serta Garuda Indonesia.
Adapun sektor BUMN yang terlibat yakni jasa keuangan dan asuransi, informasi dan telekomunikasi, transportasi dan perdagangan, serta migas.
Menilik deretan sejumlah BUMN yang terlibat, terbuka lebar bagi LinkAja untuk mengakuisisi para konsumen tersebut. Hal ini semakin dikuatkan dengan pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno yang bilang LinkAja akan dihubungkan dengan sistem perbankan BUMN sehingga yang telah memiliki rekening di bank plat merah bisa langsung tersambung dengan kartu debit.
Poin ini bisa menjadi senjata utama LinkAja dibandingkan dengan para pesaing pembayaran digital lainnya. Para pemain pembayaran digital yang lebih dulu hadir seperti Go-Pay, OVO, maupun Dana masih menggunakan bank transfer dan jaringan toko swalayan untuk melakukan pengisian saldo.
Hal ini berbeda dengan praktik pengisian saldo LinkAja yang dapat langsung dilakukan pada aplikasinya karena sudah terhubung dengan bank-bank BUMN.
Tidak berhenti sampai di sana, LinkAja juga berpeluang besar dapat digunakan untuk pembayaran tol, kereta api, pesawat, asuransi, hingga pajak.
Bahkan, ekspansi LinkAja sudah merambah pasar luar negeri seperti di Singapura. Selain itu, LinkAja juga mengincar transaksi dari para pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong dan Malaysia.
Tantangan Bakar Duit
Namun tantangan utama yang bakal menjegal LinkAja adalah gencarnya perang diskon yang dilakukan sejumlah pesaing.
Aturan promo yang ditawarkan oleh aplikator sempat menjadi polemik. Kementerian Perhubungan awalnya mengusulkan adanya pengaturan promo untuk tarif ojek online, tapi wacana tersebut kemudian 'ditarik' kembali dengan menyatakan tidak akan mengatur promo secara lebih dalam.
Praktik bakar duit lumrah dilakukan perusahaan rintisan demi membiasakan para pengguna menggunakan aplikasinya. Hal itu bisa menjadi tantangan besar LinkAJa untuk mendongkrak transaksi dalam waktu singkat.
Direktur Digital and Strategic Portofolio Telkom David Bangun mengakui tantangan sesungguhnya LinkAja adalah monetisasi. Untuk itu, demi tidak terlibat lebih dalam ke perang diskon, LinkAja memiliki strategi yang berbeda.
Dalam catatan Bisnis.com, CEO LinkAja Danu Wicaksono mengatakan, pihaknya tidak hanya menyediakan layanan di kota besar, tetapi juga menjangkau kota kecil.
Dia menyebut LinkAja akan memaikan strategi dengan menyasar konsumen yang benar-benar membutuhkan. Misalnya, pengguna jalan tol.
"Jadi, kami tidak menyasar target abu-abu yang hanya menjadi discount hunter. Itu bisa butuh modal besar nantinya," ujarnya.
Selain itu ada lagi yang perlu diperhatikan. Mayoritas pengguna dompet elektronik di Indonesia telah jauh lebih terbiasa dengan Go-Pay maupun OVO. Link Aja harus mencari cara agar pengguna bisa teralihkan dari produk pesaing tersebut.
LinkAja baru mulai mengenalkan diri ke publik pada awal 2019 tapi sudah menargetkan 40 juta pengguna pada tahun 2021.
Dalam hasil riset Morgan&Stanley yang berjudul Indonesia Banks: Fintech Continues to Lead Digital Payment, terungkap bahwa sejak dirilis 2016 Go-Pay telah tumbuh signifikan dengan rata-rata jumlah transaksi mencapai 50 juta per bulan atau 1,6 juta transaksi per hari.
Sementara dalam laporan Bloomberg pada awal Februari 2019, Go-Pay telah memproses uang senilai US$6,3 miliar atau setara dengan Rp89 triliun dari transaksi kotor tahunan pada 2018. Sementara itu, Flazz BCA dan Sakuku memproses Rp4 triliun, BNI Tapcash dan UniQu memproses Rp900 miliar, dan e-Money Mandiri Rp13,3 triliun pada 2018.
Melihat gambaran kasar nilai transaksi elektronik antara Go-Pay dan sejumlah bank plat merah, LinkAja rasanya butuh kerja ekstra untuk mencapai valuasi setara dengan status jajaran unicorn.