Bisnis.com, JAKARTA – PT Dayamitra Telekomunikasi mengungkapkan telah terjadi penurunan pemesanan tower dalam beberapa tahun terakhir, untuk mengantisipasi penurunan pemesanan yang makin dalam, penyedia infrastruktur berusaha kembangkan bisnis non tower.
Eko Santoso, EGM Reseller PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratrel), mengatakan dalam tiga tahun terakhir atau sejak 2016, terjadi penurunan pemesanan Tower Provider (TP). Rata-rata penurunan, lanjutnya, berkisar 10%-20% per tahunnya.
Dia juga mengatakan sejak 2016, grafik order TP terus melambat. Kalaupun terjadi penambahan, kata Eko, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Rata-rata all operator seluler mengurangi pemesanan nambah sewa site baru. Yang ada adalah swap (pergantian) perangkat atau berupa modernisasi. Modernisasi ini bagi bisnis TP tdk menambah order baru,” kata Eko kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Adapun mengenai pertumbuhan jumlah Base Transceiver Station (BTS) di sejumlah operator seluler belakangan, Eko mengatakan hal tersebut disebabkan oleh pemindahan BTS dari satu titik ke titik lainnya atau swap. Bukan penambahan BTS baru.
Eko mengatakan selain melakukan swap perusahaan operator juga melakukan modernisasi. “Dari 3G menjadi 4G atau perangkat lama diganti baru, itukan tidak nambah order. Bagi vendor perangkat iya berdampak, tetapi bagi TP tidak berdampak,” kata Eko.
Pada 2019 Mitratel berusaha mengembangkan bisnis non tower dengan menyediakan infrastruktur untuk bisnis digital dan pengembangan detektor bencana. Beberapa detektor bencana telah diuji coba di beberapa tempat seperti Bendung Katulampa dan Gunung Agung.
Eko menambahkan Mitratel menargetkan pemasangan 600 titik alat detektor bencana pada 2019. Eko optimistis mampu mencapai target, pasalnya sejumlah operator selular dan perusahaan swasta kabarnya berniat untuk memiliki alat tersebut.
Dia mengatakan selain dipasarkan kepada swasta, rencananya alat pendeteksi bencana juga akan ditawakan kepada pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Hingga saat ini, sambungnya jumlah titik yang berhasil dipasang alat pendeteksi bencara baru sembilan titik, karena terhalang oleh regulasi yang tentang Internet of Thing (IoT) yang masih digodok di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Sebenarnya kami sudah banyak permitaan dari operator lain, tidak hanya BUMN tapi juga swasata. Pada 2019 ini ada 700 permintaan artinya surplus 100. Belum termasuk yang di hotel dan lain-lain,“ kata Eko.
Perubahan Pola
Pemesanan tower telekomunikasi mengalami penurunan sejak tiga tahun terakhir, disebabkan cakupan wilayah operator seluler kini telah menjangkau banyak daerah ditambah oleh perubahan industri telekomunikasi dari penggunaan voice ke data.
Direktur Utama PT Mora Telekomunikasi Indonesia (Moratelindo) Galumbang Menak mengatakan penurunan jumlah tower terjadi karena jumlah tower yang disewa atau dipesan operator telah mencakup hampir seluruh wilayah kota-kota besar.
Dia mengatakan saat ini yang dibutuhkan adalah penambahan pemancar atau Base Transceiver Station (BTS) seiring dengan perubahan industri telekomunikasi dari voice ke data.
“Data itukan yang dibutuhkan bukan cakupan tetapi kapasitas, kalau voice yang dibutuhkan baru cakupan, kapasitasnya kecil saja sudah cukup,” kata Galumbang kepada Bisnis, Jumat (8/3/2019).
Galumbang juga mengakui dalam beberapa tahun terakhir pemesanan beralih dari penambahan tower menjadi penambahan perangkat atau BTS. Dia mengatakan penambahan BTS sedikit menekan pendapatan karena harga penambahan BTS lebih murah dibandingkan dengan penambahan tower.
“Pasti [tertekan pendapatan] tetapi kan mereka tergantung sewanya berapa, kalau nambah BTS nambah juga sewanya meski di tower yang sama,” kata Galumbang.
Galumbang menuturkan untuk menambah pendapatan, perseroan juga mengembangkan bisnis di luar bisnis tower seperti bisnis di ritel dan korporasi. Bisnis tersebut memberi kontribusi 25% dari pendapatan perseroan. Moratelindo berusaha mendorong pertumbuhan bisins ritel dan korporasi pada 2019.
Dia mengakatan bisnis ritel dan korporasi lebih stabil dibandingkan telko. Pasalnya, kondisi telkomunikasi di Indonesia naik turun, sehingga perusahaan operator selular kerap menekan biaya pengeluaran termasuk untuk tower.
“Bisnis kami pertama Telko, kedua international company, enterprise dan ritel. Pasti kami dorong yang korporasi dan ritel tetapikan hasilnya tidak mungkin tiba-riba” kata Galumbang.