Bisnis.com, LAS VEGAS — Kompetisi industri teknologi kecerdasan buatan kian sengit bersamaan dengan peluncuran belasan fitur baru dari Amazon Web Services, Inc. secara serentak pada hari ketiga konvensi AWS: reInvent 2018 di Las Vegas, Nevada.
Anak usaha Amazon.com, Corp. yang bergerak di lini komputasi awan itu membombardir kompetitornya dengan memperkenalkan tak kurang dari 15 jasa dan produk penunjang artificial intelligence (AI) serta logaritma pembelajaran mesin (machine learning/ML).
Selama ini, AWS sudah terlebih dahulu terkenal dengan fitur AI berbasis interaksi suara, yaitu Alexa. Namun, layar inovasi teknologi mereka kian dikembangkan untuk menjangkau calon pengguna dari berbagai latar belakang, kemampuan, dan pengalaman.
Perkenalan belasan fitur baru AWS tersebut sekaligus merupakan tindak lanjut dari peluncuran fitur pengelola algoritma ML, Amazon SageMaker, pada tahun lalu. (Lihat grafis)
Tak hanya itu, peluncuran produk/jasa baru AWS tersebut menjadi tabuhan genderang perang di medan kompetisi bisnis komputasi awan antara raksasa teknologi Amerika Serikat, termasuk Google, IBM, dan Microsoft.
Apalagi, belum lama ini Google juga meluncurkan fitur akselerasi AI-nya sendiri yaitu TensorFlow Processor Units (TPU). Microsoft pun tak ketinggalan menggandeng Xilinx guna memperkenalkan FPGAs untuk menunjang layanan komputasi awan mereka, Azure.
CEO AWS Andy Jassy dengan lantang mengklaim tidak gentar menghadapi persaingan melawan kompetitor besarnya di Barat (Google dan Microsoft) serta di Timur (Alibaba). Pasalnya, dia menegaskan bahwa korporasinya tidak berorientasi pada kompetisi tetapi pada konsumen.
“Per kuartal III/2018, pendapatan berjalan kami sudah menembus US$27 miliar naik 46% secara year on year. Persentase tersebut setara dengan kenaikan pendapatan senilai US$2,1 miliar," tutur CEO lulusan Harvard College dan Harvard Business School itu, Rabu (28/11/2018) waktu setempat.
Dibandingkan dengan kompetitor, lanjutnya, pengguna platform komputasi awan AWS mendominasi 51,80% dari total pangsa pasar global. Cakupan tersebut adalah yang tertinggi di dunia, mengalahkan Microsoft (13,30%) dan Alibaba (4,60%).
Lebih lanjut, Andy memaparkan bahwa peluncuran jasa serta produk baru pada tahun ini merupakan jawaban atas permintaan klien AWS—yang didominasi oleh praktisi ahli serta peneliti—akan adanya infrastruktur AI yang lebih mudah dioperasikan dan hemat biaya.
Menurutnya, masing-masing fitur pengembangan AI yang baru diluncurkan tersebut memiliki fungsi dan tujuan yang sangat spesifik guna menyesuaikan kebutuhan pengguna. Misalnya saja, untuk digitalisasi data kesehatan yang selama ini masih berupa dokumen kertas.
“Kita harus punya alat yang tepat untuk menyelesaikan tugas yang tepat. Ini akan membantu para pengguna untuk menghemat uang dan waktu. Kita tidak bisa lagi menggunakan hanya satu platform [AI] untuk mengerjakan banyak hal," ujarnya.
CIO Guardian Life Insurance Dean Del Vecchio mengaku perusahaan asuransi jiwa dengan aset US$71,5 miliar itu tidak bisa lagi menggantungkan pengelolaan datanya pada cara lama. Menurutnya, perusahaan harus berani berinvestasi di teknologi untuk skilling dan upskilling.
Dia menjelaskan, korporasinya membutuhkan waktu setahun untuk migrasi ke sistem data lama menuju ke komputasi awan berbasis AI. Sebab, menurutnya, mengelola data via dokumen sangat menguras tenaga, waktu, dan biaya.
“Akhirnya, per 11 Mei 2018, kami benar-benar pindah ke awan. Saya rasa, akan ada semakin banyak perusahaan yang juga melakukan migrasi."
Sementara itu, Managing Director Formula One Ross Brawn menambahkan, fitur AI yang spesifik sangat dibutuhkan oleh industri olah raga yang membutuhkan ketelitian dan kecepatan tingkat tinggi seperti F1.
“Kami menggunakan AI untuk memprediksi performa kendaraan demi menghemat waktu."
RAGU-RAGU
Bagaimanapun, harus diakui masih banyak perusahaan yang ragu-ragu untuk bermigrasi ke komputasi awan. Kegamangan itu paling banyak dirasakan di negara berkembang. Padahal, mereka sudah mengetahui konsekuensi dari penyimpanan data via dokumen.
Menurut CEO VMware Pat Gelsinger, di luar Amerika Serikat, tren migrasi perusahaan ke komputasi awan masih berjalan lambat. Di Asia, misalnya, fenomena tersebut banyak dijumpai justru di pasar-pasar raksasa seperti China, India, dan Asia Tenggara.
“Kami sedang mencari cara yang tepat agar orang paham apa manfaat menggunakan data," ujarnya.
Khusus untuk di Indonesia, Head of Business Development APAC AWS Conor McNamara mengatakan prospek untuk penggunaan data di Tanah Air sebenarnya sangat besar. Terlebih, industri dagang-el RI adalah salah satu yang paling pesat pertumbuhannya di Asia Tenggara.
Dia pun melihat pertumbuhan bisnis rintisan (startup) di Indonesia sebagai ceruk pasar yang menggiurkan bagi pengembangan bisnis AWS di Asia Pasifik. Sayangnya, dia enggan mengelaborasi kabar rencana investasi AWS senilai Rp14 triliun untuk 1 dekade ke depan di Indonesia.
Mau tidak mau, Indonesia harus segera menyongsong era migrasi ke awan. Namun, kita harus berhati-hati juga, jangan sampai potensi pasar RI yang besar justru semata-mata dijadikan ladang uang bagi taipan teknologi global yang kini sedang seru-serunya bersaing di lini bisnis big data.