AWS re:Invent 2018: Menggapai Data hingga ke Luar Angkasa

Wike Dita Herlinda
Kamis, 29 November 2018 | 02:51 WIB
Suasana AWS re:Invent 2018 di The Venetian, Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat pada Selasa (27/11/2018) waktu setempat. - Wike D. Herlinda
Suasana AWS re:Invent 2018 di The Venetian, Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat pada Selasa (27/11/2018) waktu setempat. - Wike D. Herlinda
Bagikan

Bisnis.com, LAS VEGAS - "Data adalah fondasi dari segala inovasi." Kalimat tersebut menjadi penegasan pamuncak dalam pidato keynote Terry Wise, Vice President Global Alliances Amazon Web Service Inc., pada hari kedua konvensi teknologi tahunan AWS: reInvent di The Venetian, Las Vegas, Nevada pada Selasa (27/11/2018) waktu setempat.

Sesi keynote yang menyedot perhatian ribuan audiens dari berbagai belahan bumi itu mengupas habis tentang berbagai strategi pemanfaatan data guna menjalankan perekonomian dari sudut pandang yang berbeda; yang lebih relevan dengan perputaran zaman.

Dalam konvensi itu, para pembicara dan peserta tidak lagi membahas mengapa data begitu penting dalam bisnis. Pembicaraan mereka sudah berlangkah-langkah lebih maju, yaitu dengan menyodorkan beragam inovasi teknologi untuk pemanfaatan big data secara lebih efisien.

Misalnya saja, dengan meluncurkan AWS Ground Station; sebuah inovasi komputasi awan baru yang dirancang khusus untuk memudahkan pengunduhan maupun pengunggahan data satelit dalam waktu cepat dan hemat biaya.

Layanan tersebut diintegrasikan ke dalam fasilitas AWS Global Infrastructure Regions. Saat ini, sudah terdapat 12 antena stasiun bumi yang dapat digunakan untuk mengakses data dari banyak satelit sekaligus via AWS Ground Station.

CEO AWS Andy Jassy mengatakan, selama ini tantangan utama dalam penggunaan serta pemanfaatan data satelit adalah proses yang rumit dan mahal karena membutuhkan infrastruktur yang memadai, baik untuk proses downlink maupun uplink.

“Luar angkasa adalah hal yang sulit. Namun, mengunggah dan mengunduh data dari satelit yang mengorbit adalah hal yang jauh lebih sulit. Data satelit selama ini masih merupakan hal yang mahal karena harus melibatkan banyak infrastruktur darat. Namun, dengan AWS Ground Station ini, konsumen dapat menerima data satelit secara lebih efisien dan hemat biaya," jelasnya.

Begitu konsumen menerima data dari AWS Ground Station, lanjutnya, mereka dapat langsung memprosesnya melalui Amazon Elastic Compute Cloud (Amazon EC2), menyimpannya di Amazon Simple Storage Service (S3), dan menggunakannya melalui AWS Analytics.

“Seluruh data tersebut dapat langsung digunakan hanya dengan beberapa ‘klik' di AWS Management Console. Tidak ada uang muka maupun kontrak jangka panjang untuk bisa menggunakan layanan ini. Pembayaran cukup dilakukan berdasarkan penggunaan," tuturnya.

Meskipun AWS belum mengumumkan secara resmi berapa tarif per menit yang dipatok untuk mengakses data satelit melalui alat baru yang berukuran sebesar kotak sepatu tersebut, Jassy menggaransi layanan tersebut dapat menghemat biaya akses data satelit hingga 80%.

Pada kesempatan yang sama, CTO Maxar Technology Walter Scott menambahkan, data satelit yang akurat dapat membantu banyak pekerjaan penting, baik yang berhubungan dengan bisnis, pendidikan, pemerintahan, perkiraan cuaca, komunikasi, maupun pemindaian permukaan bumi.

“Misalnya, data pemindaian bumi yang akurat sangat penting dalam mempermudah tugas kemanusiaan. Sebab, satelit dapat digunakan untuk mengantisipasi bencana maupun mengetahui lokasi atau titik-titik rawan di bumi," ujarnya.

Dia mencontohkan penggunaan data satelit untuk memindai Laut Mediterania, yang merupakan jalur paling berbahaya bagi para pencari suaka dari Afrika. Selama ini, pertolongan bagi mereka selalu datang terlambat akibat tidak akuratnya pemetaan lokasi di Laut Mediterania.

“Data satelit dapat menjangkau tempat-tempat yang tidak terpindai oleh kapal pemantau. Berkat penggunaan data satelit yang akurat, misi penyelamatan terhadap para pencari suaka di Laut Mediterania pun dapat dilakukan dengan lebih mudah. Sebab, kita dapat mengetahui di mana lokasi para korban secara akurat, sehingga aksi penyelamatan pun dapat dilakukan dengan lebih cepat. Hasilnya, korban meninggal dapat diminimalisasi hingga 58%."

BAGAIKAN MINYAK

Mendengar pemaparan-pemaparan tersebut, terkesan jelas bahwa penguasaan atas data dapat membuat hidup terasa lebih mudah. Dengan memiliki data, seakan-akan tidak ada satu kesulitan pun yang tidak bisa dicari solusinya. Itulah mengapa matematikawan Inggris, Clive Humby, berani mengklaim bahwa data is the new oil. 

Menurut pemaparan President & CEO Sumo Logic Ramin Sayar, penggunaan mesin data global akan menembus 16 zetabyte pada 2020. Itu adalah ceruk pasar yang membuat korporasi-korporasi teknologi gigantis berlomba-lomba memonetisasi big data.

“Saat ini, perhitungan kasar saya, perputaran bisnis raksasa di seluruh dunia mencapai US$100 triliun. Mereka bersaing mengakselerasi komputasi awan, memodernisasi aplikasi, meredefinisikan keamanan, dan meningkatkan penggunaan ekonomi analitik," ucapnya. 

Dia menjelaskan, semakin lama, big data semakin dominan digunakan untuk tujuan yang spesifik dalam skala besar. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dalam waktu dekat negara-negara berekonomi kuat akan beralih ke sistem robotik untuk menjalankan perekonomian.

Di Filipina saja, pemanfaatan data tengah digalakkan secara masif guna menggapai target 90% rumah di negara tersebut go online dalam 2 tahun ke depan. Saat ini, ada sekitar 2 juta rumah di Filipina yang sudah online

Hal itu diungkapkan oleh CEO Telecom, Pebbles Sy-Manalang. Dia menegaskan, Filipina sudah menyadari bahwa konektivitas adalah kunci kesejahteraan. “Tidak ada jalan selain memanfaatkan data untuk membuka kunci tersebut."

Sama seperti Filipina, Indonesia pun sedang mengupayakan kepemilikan big data untuk segala aspek perekonomian. Republik ini menyadari penguasaan akan data adalah jalan menuju sukses pada era disrupsi.

Apalagi, mengutip riset Google dan Temasek yang berjudul e-Conomy Southeast Asia, Indonesia digadang-gadang menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asean dengan nilai setara US$100 miliar pada 2025 dari US$27 miliar pada 2018. 

Ini sebenarnya merupakan gejala-gejala bahwa generasi yang mendominasi Indonesia sudah mulai tech-savvy. Ini adalah preseden baik. Terlebih, untuk mencapai Revolusi Industri 4.0, komputasi awan dan penguasaan big data adalah infrastruktur yang mutlak dipenuhi.

Akhir kata, inovasi dan pemikiran Indonesia tentang data memang belum se-sophisticated para begawan teknologi di Negeri Paman Sam. Inovasi untuk mengakses data satelit secara masif dan murah layaknya AWS saja masih jauh dari angan-angan para periset merah-putih. 

Namun, mulai adanya kesadaran terhadap pentingnya big data sebenarnya sudah bisa menjadi langkah awal yang baik untuk memulai sebuah ‘kehidupan yang lebih mudah' di Tanah Air. Kita berharap saja, langkah itu tidak berhenti di awal. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper