Bisnis.com, JAKARTA -- Perusahaan pembuat komponen produk telekomunikasi asal China, ZTE Corp, menyatakan keputusan AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan itu tidak adil dan mengancam kelangsungan hidup perusahaan dan berjanji untuk melindungi haknya melalui semua cara hukum.
Pada pekan ini, AS memberlakukan larangan terhadap perusahaan-perusahaan AS untuk menjual suku cadang dan perangkat lunak kepada ZTE selama tujuh tahun. Alasannya, pemerintahan Donald Trump menilai ZTE telah melanggar kesepakatan perdamaian dengan berulang kali memberikan pernyataan palsu.
Keputusan AS itu dirasakan sebagai sebuah ancaman untuk memutus rantai pasok perusahaan tersebut.
"Ini sangat tidak adil untuk ZTE dan kami tidak bisa menerimanya!," ungkap perwakilan ZTE Corp dalam pernyataan resmi seperti dilansir dari Reuters, Jumat (20/4/2018).
"Perintah penolakan tidak hanya akan membahayakan kelangsungan hidup ZTE, tapi juga merugikan kepentingan semua mitra ZTE termasuk sejumlah besar perusahaan AS," lanjut ZTE.
Buntut dari keputusan itu adalah perdagangan saham perusahaan di China telah dihentikan sejak Selasa (17/4).
Tahun lalu, ZTE mengaku bersalah melakukan konspirasi untuk melanggar sanksi AS dengan melakukan pengiriman ilegal atas barang-barang dan teknologi AS ke Iran. ZTE berkonspirasi untuk menghindari embargo AS dengan membeli komponen-komponen buatan AS, merakitnya ke dalam perangkat ZTE, dan mengapalkannya secara ilegal ke negara Timur Tengah itu.
ZTE membayar denda dan penalti senilai US$890 juta, sekitar Rp12,2 triliun, dan tambahan penalti sebesar US$300 juta, sekitar Rp4,1 triliun, yang dapat diberikan dalam keadaan tertentu.
Sebagai bagian dari kesepakatan, ZTE berjanji untuk memberhentikan 4 pejabat senior dan memberikan sanksi kedisplinan kepada 35 stafnya. Namun, pada Maret 2018, perusahaan yang berbasis di Shenzen itu mengaku belum menjatuhkan sanksi kedisiplinan kepada 35 staf tersebut.