Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan penyedia layanan over the top atau OTT mengharapkan regulasi perlindungan data pribadi tidak mempersulit gerak bisnis digital yang tengah berkembang di Tanah Air.
Menyusul isu kebocoran data identitas kependudukan hingga skandal pencurian data pengguna Facebook Inc. di Amerika Serikat, wacana penerbitan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi kembali kencang.
Untuk itu, pembuat UU perlu mengakrabkan para pemain bisnis dan pemilik data pribadi dengan pengaturan baru tersebut agar bisa segera beradaptasi.
“Sering ada peraturan baru, kadang-kadang agak sulit diterapkan. Kami dari Facebook sendiri mendukung. Tapi karena layanan kami cukup luas, bagaimana sosialisasi dari pemerintah?” kata Public Policy Lead Facebook Indonesia Ruben Hattari di sela-sela acara Discussion on Personal Data Protection di Jakarta, Rabu (28/3/2018).
RUU Perlindungan Data Pribadi yang tengah digodok berisi klausul mengikat pemerintah, pelaku bisnis, dan individu.
Penggunaan, pengolahan, dan pentransmisian data pribadi oleh perusahaan diperbolehkan dengan tetap menghormati privasi pengguna. Pelanggaran atas aturan tersebut akan dikenakan sanksi pidana.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengklaim penyedia layanan OTT tidak keberatan dengan RUU tersebut. Pasalnya, mereka pun tidak ingin disalahkan ketika mengelola data pribadi pelanggan.
“Sekarang mereka menunggu panduan supaya saat memberikan layanan itu sesuai dengan aturan yang ada,” katanya di tempat yang sama.
Semuel mengatakan saat ini pengaturan data pribadi bagi OTT belum terlalu kuat karena baru dicantumkan lewat Permenkominfo No. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Selain terbatas hanya untuk bidang usaha telematika, beleid itu tidak sampai mengatur ketentuan pidana.
Meski berpotensi lebih ketat, Semuel mengingatkan regulasi data pribadi justru memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Pasalnya, menurut dia, keberlanjutan para pemain bisnis digital sangat tergantung dari kepercayaan pengguna atas keamanan dan perlindungan data pribadi mereka.
Senada, Managing Partner K&K Advocates Justisiari P. Kusumah menilai regulasi perlindungan data pribadi menjadi keniscayaan di era bisnis berbasis internet. Bagi sejumlah perusahaan, data tidak hanya sekadar bisnis sekunder, tetapi malah menjadikannya jualan utama.
Melalui regulasi, perusahaan dipandu untuk menggunakan, memproses, dan mentransmisikan data pribadi pelanggan dengan tetap menghormati privasi. Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu berkaca dari isu kebocoran data akhir-akhir ini sehingga penggodokan RUU Perlindungan Data Pribadi perlu dikebut dan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional.
“Kasus kebocoran data sudah banyak. Kalau tidak ada pengaturan akan ada banyak korban,” ujarnya.
Ketua Pusat Hukum Siber Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Shinta Dewi menjelaskan Indonesia tertinggal dari 110 negara di dunia yang telah memiliki regulasi perlindungan data pribadi. Lebih ironis karena di kawasan Asean, Indonesia bergabung dengan Laos dan Myanmar yang tidak memiliki pengaturan data pribadi selevel UU.