Perbedaan Fintech Indonesia dan Australia

N. Nuriman Jayabuana
Kamis, 1 Februari 2018 | 10:02 WIB
Founding Partner of Fintech Australia Simon Cant (dari kiri), Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Fintech Indoesia (Aftech) Ali Awan, dan Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Ajisatria Suleiman memberi paparan dalam jumpa pers kolaborasi ekosistem fintech Indonesia dan Australia, di Jakarta, Rabu (31/1)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Founding Partner of Fintech Australia Simon Cant (dari kiri), Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Fintech Indoesia (Aftech) Ali Awan, dan Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Ajisatria Suleiman memberi paparan dalam jumpa pers kolaborasi ekosistem fintech Indonesia dan Australia, di Jakarta, Rabu (31/1)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Bagikan

JAKARTA—Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia mengajak berbagai perusahaan rintisan tekfin dan modal ventura Australia merambah pasar ekonomi digital Indonesia.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia Donald Wihardja menyatakan Australia merupakan salah satu negara dengan ekosistem fintech terbaik di Asia Pasifik. Negara tetangga itu memiliki sejumlah modal ventura yang berpengalaman menanamkan modal pada sektor tekfin.

“Ekosistem fintech Australia sangat bagus, teknologinya sangat mature dan modal venturanya terbilang kuat,” ujarnya di sela acara Indonesia—Australia Digital Forum yang digelar di Jakarta, Rabu (31/1).

Berbagai teknologi perusahaan tekfin asal Australia dapat diadopsi perusahaan tekfin Indonesia untuk direplikasi. “Mereka perlu diyakinkan untuk masuk lebih dalam ke pasar Asean dengan terlebih dulu masuk Indonesia. Indonesia dapat menjadi gateway sebagai pintu masuk pasar Asean,” ujarnya.

Donald menyatakan salah satu hambatan berkembangnya tekfin dan perusahaan rintisan bidang lain di Indonesia merupakan keterbatasan sumber pendanaan untuk berkembang. Kapasitas perusahaan modal ventura lokal baru sanggup menyuntikan modal senilai US$3 juta—US$5 juta pada tiap ronde pendanaan.

Industri modal ventura di Indonesia yang baru berusia 3—4 tahun ke belakang  rata-rata belum memiliki kapasitas pendanaan sebesar itu. “Dan dalam kondisi seperti ini diperlukan mitra regional fund yang paling tidak punya kapasitas fundraising lebih tinggi, supaya startup kita dapat terdanai sampai tumbuh besar,” ujarnya.

Managing Partner Venturra Capital sekaligus Brand Ambassador Nexticorn, Rudy Ramawy, menyatakan keterbatasan sumber pendanaan menjadi faktor penahan pertumbuhan perusahaan tekfin. Pertumbuhan perusahaan rintisan mulai tersendat tatkala membutuhkan pendanaan lanjutan tahap menengah, yaitu seri B dan C  dengan suntikan modal senilai US$5 juta—US$30 juta.

Padahal pertumbuhan perusahaan rintisan teknologi di Indonesia cukup potensoal mengingat perilaku konsumen sangat berbasis mobile, termasuk dalam metode pembayaran. Terlebih, penetrasi sektor keuangan formal belum mampu menjangkau seluruh populasi. Dampaknya, konsumen semakin banyak mengadopsi penggunaan teknologi fintech untuk mengisi kekosongan ketidakterjangkauan sektor keuangan formal.

Menurutnya, pertumbuhan sektor tekfin di Indonesia dalam tiga tahun ke depan bakal jauh melampaui pesatnya laju pertumbuhan e-commerce dalam 3 tahun ke belakang.  “Pertumbuhan fintech dapat jauh lebih pesat dari pertumbuhan e-commerce karena demand sangat tinggi, penetrasi sektor keuangan masih sangat lemah, dan bank bergerak sangat lambat meski sudah diberikan regulatory sandbox sebagai stimulus,” ujarnya.

Associate Telstra Ventures Albert Biellinko menyatakan Indonesia merupakan salah satu pasar tekfin terbesar yang potensial di kawasan Asia Pasifik. Hanay saja, layanan tekfin kedua negara didasarkan pada kebutuhan dan perilaku konsumen yang berbeda.

Sebagai gambaran, ekosistem tekfin di Australia terintegrasi dengan layanan perbankan. Sementara pengembangan pasar tekfin di Indonesia masih belum terlihat secara jelas lantaran absennya regulasi. Di samping itu, literasi keuangan Indonesia merupakan salah satu yang terendah di kawasan.

“Tapi kami yakin teknologi dapat menjadi game changer yang menjawab persoalan di sektor jasa keuangan di sini. Pasar ekonomi digital di sini begitu besar, kami perlu mengeksplor berbagai peluang pengebangan tekfin yang belum terjangkau di pasar Indonesia,” ujarnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper