Bisnis.com, JAKARTA - Digitalisasi menjadi keniscayaan yang pasti di era teknologi informasi saat ini. Digitalisasi memang telah mengisi mengisi ruang dan hampir segenap sisi di negeri ini.
Namun, di era digitalisasi yang menawarkan teknologi lebih praktis dan hasil instant bagi karya seni, produk analog alias manual masih mendapatkan tempat di hati.
Fotografi memang tidak bisa mengelak dari serbuan masif produk kamera digital. Potret-memotret yang dahulu indentik dengan hobi dan seni itu, kini telah dianggap sebagai salah satu sub bidang unggulan industri kreatif.
Benarkah dunia fotografi telah dikuasai sepenuhnya oleh kamera digital?
Ternyata, tidak demikian halnya. Kamera analog masih digemari oleh sejumlah kalangan. Di sejumlah kota seperti Yogyakarta ada komunitas pecinta kamera analog. Bahkan, di luar negeri komunitas pecinta kamera analog bisa lebih mudah mempertahankan eksistensinya.
Bagi orang-orang tertentu, seni memang tidak bisa diganti dan terganti begitu saja. Bagi mereka, fotografi sebagai sebuah seni itu lebih cocok dengan menggunakan kamera manual.
Dari selancar di sejumlah situs, ternyata ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham, disebut-sebut sebagai penemu dan pencetus prinsip kerja kamera.
Pada akhir abad ke-10 Masehi atau sekitar 1.000 tahun lalu, dia telah mampu membuat sebuah kamera obsura pertama kali di dunia.
Adalah Steven Sasson yang ditasbihkan sebagai penemu pertama kamera digital membuat dunia fotografi terasa lebih simpel dan praktis. Penemuan dimulai pada 1975, Steven mendapat tugas yang sangat berat dari atasannya, Gareth A. Lloyd di Eastman Kodak Company.
Kamera digital terasa membuat semua orang bisa menjadi fotografer. Tinggal pencet-pencet dan langsung bisa melihat hasil jepretannya.
Kembali ke kamera analog, pada masa jayanya menjadi alat ‘berharga’ bagi para penghobi fotografi, serta menjadi harapan bagi mereka yang sedang punya hajatan dan acara-acara penting di perusahaan dan keluarga.
Bagi mereka rasa penasaran dan kepuasan maksimal benar-benar baru diraih setelah film dicetak. Sebaliknya, rasa kecewa mendalam akan dirasakan ketika hasil fotonya jelek, apalagi kosong atau istilah populernya terbakar.
Berbeda dengan kamera digital, bagi komunitas penggemar, kamera analog itu melatih sense terhadap suatu objek.
Wihinggil Prayogi, pendiri Kamera Analog Jogja, menyatakan sebaiknya sebelum menggunakan kamera digital, mereka yang meminati fotografi belajar dahulu kamera analog.
Namun, kebanyakan orang sekarang meloncati tahapan analog dan langsung terjun ke digital. Memahami fotografi analog tetap lebih menarik karena seninya berbeda, rasanya berbeda.
Fotografi analog itu mengombinasikan unsur fisika, matematika, dan kimia. Fisika dari segi mekanik kameranya, matematika dari segi perhitungan ketepatan pengambilan gambarnya, dan kimia dari segi pencucian seluloit-nya. Fotografi digital tidak melalui aspek ‘kimia’ itu.
Selain itu, pecinta kamera analog yang tergabung dalam komunitas mendapatkan manfaat secara sosial.
Selain menambah teman sehobi dan seprofesi, para anggota tidak dibebankan untuk memiliki kamera terbaik. Para anggota banyak mendapatkan informasi seputar teknik kamera analog.
Jadi, masihkah kita ‘mendewakan’ kamera digital?