Bisnis.com, JAKARTA - Desi tidak bisa memejamkan mata, padahal waktu sudah hampir tengah malam. Alih-alih bukannya langsung tidur, dia masih asyik memainkan games favorit di telepon genggamnya. Tak lama, mesin mungil tersebut memberi notifikasi baterai lemah.
Desi bergegas mencari charger demi melanjutkan permainan kesayangannya. Akan tetapi, baru 5 menit, dia memutuskan untuk mengakhiri games tersebut. Rupanya dalam aplikasi games yang dimainkan muncul iklan berbayar.
Lantaran iseng, Desi pun akhirnya menyentuh iklan tersebut. Dirinya dibawa berselancar ke halaman berisi situs belanja fesyen. Kebetulan, promo midnight sale sedang diadakan pada malam itu.
Desi mulai tergiur dengan promo yang ditawarkan. Bayangkan saja, baju bermerek yang sejak dulu diincar, kini di diskon setengah harga. Transaksi pun akhirnya terjadi. Tidak dapat dipungkiri iklan digital memiliki kekuatan yang tidak terelakkan dalam menjaring konsumen seperti Desi.
Setiap iklan yang ditampilkan tiap sennya oleh para penjual di berbagai channel marketing yang tersedia di dunia maya, langsung dapat terukur efektivitasnya bagi bisnis. Tak heran, beriklan di jalur ini makin banyak dipilih oleh hampir semua pelaku usaha di Tanah Air, termasuk pelaku e-commerce dan nilai anggarannya tiap tahun terus meningkat.
Bahkan, Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Daniel Tumiwa mengungkapkan industri ini adalah pelopor dari istilah performance based marketing dan termaju di bidang digital marketing ketimbang industri lainnya.
Istilah ini mulai populer sejak 4 tahun lalu, ketika itu ada situs e-commerce pertama bernama multiply.com yang sedang dikembangkan. Bahasa lisan dari istilah ini, kata Daniel, e-commerce hanya akan bayar iklan bila agen periklanan berhasil mencetak penjualan.
Dia mencontohkan pelaku akan membayarkan fee iklan meski belum terjadi transaksi, seandaianya mencapai kuota tertentu. Besarannya pun berbeda-beda. "Setiap sen dari pemasangan iklan digital sangat terukur dan rinci. Sehingga lebih banyak pelaku e-commerce rela untuk banyak beriklan digital lewat berbagai channel," kata dia kepada Bisnis, Kamis (7/1/2016).
Oleh sebab itu, biasanya porsi belanja iklan terhadap total anggaran belanja per usahaan mencapai 70%—80%. Dari besaran tersebut, belanja iklan digital mencapai 60%—70%, sementara itu sisanya dipergunakan untuk belanja iklan nondigital 30%—40%.
TETAP DIBUTUHKAN
Adstensity, aplikasi pemantau iklan, baru-baru ini merilis data belanja iklan TV yang digelontorkan oleh e-commerce sepanjang 2015. Nilainya mencapai Rp1,79 triliun atau berkontribusi sekitar 2,47% terhadap total belanja iklan TV. Padahal, pendapatan iklan TV secara nasional mengalami penurunan sebesar 26,7% menjadi Rp72,5 triliun dari tahun sebelumnya senilai Rp99 triliun.
Dari laporan itu juga disebutkan belanja iklan TV oleh Tokopedia dan Traveloka masuk dalam 10 besar brand paling royal. Kedua perusahaan itu, masing-masing sudah mengucurkan sebesar Rp674,71 miliar dan Rp631,02 miliar.
"Tahun lalu industri e-commerce mengalami pertumbuhan kendati belanja iklan secara industri menurun akibat memburuknya nilai tukar. Akibatnya sebagian besar terpaksa menghemat belanja iklan," kata Direktur Utama Adstensity Sapto Anggoro.
Lebih lanjut, salah satu pelaku baru e-commerce di Tanah Air yakni mataharimall.com yang berdiri pada 17 Maret 2015, bisa dikatakan menjadi pelaku yang patut diperhitungkan.
Dalam rentang waktu sembilan bulan perusahaan tersebut sudah menembus angka Rp83,47 miliar. Pemain lama seperti Tokopedia, Traveloka, atau OLX masih merajai belanja iklan TV sektor e-commerce. "Ke depannya dengan makin ketatnya kompetisi, belanja iklan sektor e-commerce akan naik."
Salah satu pelaku e-commerce adalah Elevania.co.id, milik PT XL Axiata Tbk. Tiap tahun anggaran belanja iklan digital terus membesar, meski secara persentase terhadap iklan nondigital tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Ada alasannya, ternyata jalur nondigital masih tetap dibutuhkan demi menjaga brand agar tetap eksis.
"Secara absolut nilai belanja iklan digital terus naik, paling tidak tumbuh dua kali dari tahun sebelumnya. Tapi kami jaga persentasenya sekitar 70%—80%. Kami masih ada porsi untuk tradisional marketing dengan beriklan ke TV untuk alasan branding. Kalau iklan digital demi jaga traffic supaya tetap sesuai target," terang Direktur Keuangan Elevania.co.id, Lila Nirmandari.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Komunikasi Tiket.com Gaery Undarsa. Porsi belanja iklan digital tahun ini sama dengan 2015 sebesar 50% dan sisanya diarahkan untuk iklan nondigital.
"Kami merasa dengan porsi iklan digital sebanding dengan nondigital cukup efektif terhadap target bisnis perusahaan di tahun lalu. Makanya untuk tahun ini kami memutuskan porsinya sama," kata Gaery.
Head of Offline Marketing Mataharimall.com Regan Dwinanda mengatakan pihaknya masih menilai jalur iklan nondigital bisa memberikan pengaruh yang signifikan. Pasalnya, masyarakat Indonesia masih dikategorikan sebagai masyarakat offline.
"Namun kami juga melihat penetrasi Internet yang luar biasa memberikan pengaruh terhadap penggunaan media online, sehingga kami juga berinvestasi pada media online tersebut," imbuhnya.
Begitu pula dengan sistem pembayaran. Awalnya pelaku baru menyediakan sistem itu bila dilakukan secara offline. Mengingat perkembangan Internet makin pesat, mau tak mau membuat pelaku harus rela investasi besar-besaran untuk dapat beralih ke online. Cara itu juga untuk mengantisipasi persaingan dengan pemain asing.
Daniel menambahkan keseluruhan ekosistem perangkat pendukung industri e-commerce kini sudah siap menopang penetrasi ke masyarakat.
Data Kementerian Komunikasi & Informatika (Kemenkominfo), jumlah pengguna Internet aktif saat ini baru mencapai 72,7 juta penduduk padahal total populasi mencapai 255,5 juta orang. "Pasar masih luas dan belum tersentuh. Sementara pemainnya masih banyak yang belajar. Dari sudut pasar enggak masalah karena potensinya masih luas." ()