Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk mengantisipasi pembengkakan tagihan (bill shock) dari layanan telekomunikasi roaming internasional melalui peraturan baru dianggap tidak akan mudah.
“Karena ini sifatnya resiprokal, bergantung pada operator di luar negeri juga,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) Dian Siswarini saat dihubungi Bisnis, Kamis (22/8/2013).
Dia menyebutkan penentuan tarif roaming internasional dilakukan oleh operator setempat kecuali ada perjanjian khusus baik melalui perusahaan holding atau skema lain.
Dia tidak menampik kondisi tarif layanan roaming internasional saat ini masih cukup mahal khususnya di Eropa dan Amerika.
Menurutnya, layanan data adalah salah satu faktor yang kerap memicu bill shock. Sejumlah pengguna, kata dia, tidak menyadari layanan data mereka terus berjalan meski berada di zona roaming.
“Itu bisa besar sekali ada yang bisa sampai Rp5 juta sehari di negara tertentu, apalagi tarif data di luar negeri mahal,” imbuhnya.
Dian mengatakan pelanggan yang mengaktifkan layanan roaming internasional harus menyadari bahwa ketentuan dan tarif ditentukan oleh operator bersangkutan. Operator di Tanah Air kata dia hanya mendapat porsi hasil sesuai perjanjian.
Dia menyebutkan bill shock tidak hanya merugikan pelanggan, tetapi juga membuat operator khawatir. Namun, sambungnya, hingga kini belum ada rencana di kalangan operator telekomunikasi dunia untuk membahas kondisi tersebut.
Terkait dengan penyampaian informasi layanan roaming kepada pelanggan, Dian menegaskan hal itu sudah banyak dilaklukan operator di Indonesia. “Beberapa sudah memberi informasi dengan baik kepada pelanggan, tapi yang jelas kami menyambut baik rencana pemerintah ini,” ujarnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar uji publik rancangan peraturan menteri (RPM) tentang Layanan Jelajah (Roaming) Internasional mulai 22 Agustus - 30 Agustus mendatang. Kementerian Kominfo menyebutkan RPM tersebut disusun untuk menjaga persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian serta transparansi penyediaan layanan roaming internasional.
Menurut Kominfo sejumlah negara sudah mulai menerapkan kebijakan dan pengaturan layanan roaming internasional untuk mengurangi keluhan pengguna telekomunikasi lantaran membengkaknya tagihan setelah berkomunikasi dari luar negeri.
“Keluhan seperti itu juga cukup sering terjadi di Indonesia,” ujar Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S Dewa Broto dalam siaran persnya.
Dia menyebutkan asosiasi operator telekomunikasi dunia GSM Association (GSMA) sudah berkomitmen untuk memberlakukan transparansi pada roaming internasional khususnya data roaming. Mereka sudah menyampaikan surat terkait hal itu melalui Chief of Government and Regulatory Affairs Officer GSMA pada 21 Juni 2012.
Beberapa hal yang akan diatur dalam RPM tersebut antara lain persetujuan pelanggan untuk menggunakan layanan roaming, kejelasan informasi tarif kepada pelanggan yang dapat diakses dengan murah melalui berbagai media serta kemudahan aktvasi dan penghentian layanan tersebut oleh pengguna.
Rancangan aturan baru tersebut akan mewajibkan operator untuk menyediakan informasi batasan layanan kepada pelanggan. Operator akan diminta untuk memberikan daftar mitra roaming di luar negeri serta prioritas yang dapat dipilih pelanggan.
Ketua YLKI Sudaryatmo menyebutkan selama ini sering terjadi informasi asimetris dalam layanan telekomunikasi. Dia tidak menampik banyak pengguna yang tak memiliki pemahaman produk yang baik.
Namun, menurutnya, hal itu sering terjadi karena pelanggan tidak mendapat informasi yang jelas baik dari produsen perangkat dan operator.
“Sayang kondisi asimetris ini yang mereka [produsen dan operator] sukai untuk meraih banyak keuntungan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.
Dia menambahkan operator telekomunikasi di Indonesia seharusnya juga bisa meningkatkan daya tawar negosiasi tarif roaming dengan operator luar negeri. (Foto:howto.wired)