Ini Masukan Kadin Terkait Revisi UU Penyiaran

Pernita Hestin Untari
Senin, 14 Juli 2025 | 20:07 WIB
Ilustrasi orang menonton televisi/unsplash
Ilustrasi orang menonton televisi/unsplash
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA— Kamar Dagang Indonesia (Kadin) mendukung revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 (UU Penyiaran). 

Ketua Komite Tetap Penelitian dan Kebijakan Komunikasi dan Digital Kadin Indonesia, Chris Taufik mengatakan pihaknya mendorong adanya pembaruan regulasi penyiaran yang responsif terhadap konvergensi media. 

“Artinya apa? Artinya memang bisa applicable untuk media konvensional dan media-media digital yang baru berkembang di era-era belakangan ini,” kata Chris dalam RDPU Panja Penyiaran dengan Komisi I DPR di Jakarta pada Senin (14/7/2025). 

Chris menambahkan pihaknya juga menyoroti perlunya jaminan kesetaraan dalam perlakuan terhadap pelaku usaha penyiaran di era digital. Hal ini karena terjadi ketimpangan regulasi antara media konvensional dan platform digital yang kini mendominasi pasar iklan dan konten di Indonesia.

Menurutnya apabila siaran itu definisinya adalah segala sesuatu yang ditonton oleh masyarakat maka ketidakadilannya adalah untuk media konvensional

“Satu karena kena kebijakan sensor lalu kedua kena kebijakan pengawasan isi siaran lalu ketiga kena peraturan-peraturan yang lain tetapi di satu sisi penyedia konten yang lain itu bebas merdeka untuk melakukan apapun, dimanapun, dan terhadap siapapun,” ungkapnya. 

Dalam kesempatan tersebut, Chris juga membeberkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan KADIN pada 17 April 2025. Adapun FGD tersebut melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor seperti akademisi dari Universitas Indonesia (UI) dan Binus, perwakilan pemerintah, asosiasi industri, serta penyedia platform digital.

Dari unsur akademisi, Chris menyebut masukan penting disampaikan terkait perlunya redefinisi terhadap istilah “penyiaran” yang dinilai sudah tidak relevan dengan lanskap media saat ini. Akademisi UI juga menyoroti pergeseran dari model “one to many” menjadi “many to many”, sementara Binus mengusulkan adanya UU terpisah untuk penyiaran digital karena kompleksitas substansinya.

Sementara dari pelaku industri, muncul kekhawatiran atas tidak meratanya beban regulasi. Media konvensional harus tunduk pada batasan iklan, sensor, dan kewajiban lainnya, sedangkan platform digital, terutama yang berbasis user generated content (UGC), lepas dari pengawasan serupa, namun meraup pangsa pasar iklan yang besar.

“Kami semakin melihat ada perbedaan ini, kalau boleh kita pakai istilah, ada perbedaan penanganan kedaulatan antara penyedia-penyedia konten yang merasa berdaulat terhadap platformnya sendiri dengan kita-kita yang di sini, yang merasa bahwa NKRI ini negara yang berdaulat,” kata Chris.

Dia menambahkan sistem penyiaran saat ini telah bergeser dari ketergantungan pada spektrum frekuensi menuju penyiaran berbasis internet, termasuk lewat WiFi. Ini berdampak pada tidak relevannya lagi pendekatan regulasi lama terhadap platform video on demand maupun layanan streaming dan UGC.

Masalah kepemilikan dan keragaman konten juga turut disorot. Menurutnya, konsep diversity of ownership dan diversity of content tidak lagi berlaku karena tren global menunjukkan konten yang seragam meski diproduksi oleh entitas yang berbeda.

Chris juga menekankan perlunya harmonisasi antara RUU Penyiaran dengan undang-undang lain seperti UU ITE dan UU PDP. Bahkan, dia membuka kemungkinan perlunya pembentukan UU baru khusus untuk penyiaran digital.

“Apakah mungkin diperlukan pembentukan undang-undang yang baru? Mungkin bukan undang-undang penyiaran yang baru tapi betul-betul undang-undang baru yang terkait dengan digital saja supaya bisa fokus kita menyelesaikan semua permasalahan digital itu,” ungkap Chris.

Dua juga menyoroti ketimpangan yang dirasakan operator telekomunikasi, yang jaringannya dimanfaatkan oleh OTT berskala global tanpa adanya kontribusi beban yang setara. Selain itu, isu pembajakan konten yang kian marak juga memerlukan perhatian khusus dalam bentuk perlindungan hak cipta dan infrastruktur pengawasan.

Di sisi lain, platform video streaming luar negeri dinilai lepas dari aturan sensor, berbeda dengan penyedia lokal yang tetap tunduk pada aturan KPI dan lembaga sensor film.

“Pengawasan konten pada platform digital itu tidak seketat media konvensional atau bahkan tidak ada sama sekali. Terutama ini untuk penyedia platform yang video streaming yang berasal dari luar,” kata Chris.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper