Bisnis.com, JAKARTA — Sekitar 160 desa di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), segera memanfaatkan satelit orbit rendah milik Elon Musk, Starlink, untuk mendukung sejumlah aktivitas pemerintahan dan layanan publik. Pengadaan perangkat tersebut akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengadaan perangkat Starlink ini akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang telah diprogramkan dalam APBD tahun 2025.
Kepala Bidang Infrastruktur Teknologi dan Informasi Kabupaten Kupang, James Ating mengatakan pengadaan perangkat Starlink untuk 160 desa tersebut sepenuhnya menggunakan dana desa, dengan alokasi anggaran sekitar Rp10 juta hingga Rp20 juta per desa.
"Itu langsung dimasukkan ke dana desa. Kegiatan di desa, masing-masing desa. Jadi masing-masing desa mereka pakai Starlink. Itu sudah diprogram dalam APBD tahun 2025," ujar James kepada Bisnis, Sabtu (14/6/2025).
Starlink merupakan satelit yang menawarkan kecepatan internet yang tinggi, dengan kecepatan unduh (download) mencapai 40-220+ Mbps dan kecepatan unggah (upload) 8-25+ Mbps. Jumlah tersebut bisa berkurang atau lebih tinggi tergantung jumlah pengguna.
Starlink menjadi tulang punggung pendapatan SpaceX. Starlink telah beroperasi di seluruh dunia. Namun, di beberapa negara dengan populasi besar seperti China, Starlink dilarang beroperasi karena menyangkut kedaulatan.
James menambahkan ke depan akan ada 160 desa yang menggunakan Starlink. Pemerintah kabupaten juga berencana memperluas penggunaan Starlink ke 16-17 kecamatan, termasuk 17 kelurahan dan 24 kecamatan lainnya. Namun, realisasi program ini juga bergantung pada kemungkinan adanya bantuan tambahan dari pemerintah pusat.
Menurut James, proses pengadaan perangkat Starlink dilakukan oleh masing-masing pemerintah desa, dengan harga satu paket perangkat sekitar Rp12 juta hingga Rp15 juta, sudah termasuk biaya langganan internet.
"Langganannya sekitar Rp1,2 juta per bulan. Jadi tinggal dikali dengan 12 bulan," jelasnya.
Setara Serat Optik
Pengadaan perangkat biasanya dilakukan melalui pihak ketiga yang telah bekerja sama dengan pemerintah desa.
Dari sisi kualitas, James menyebutkan bahwa kecepatan internet Starlink di Kupang hampir setara dengan jaringan fiber optik, terutama saat cuaca cerah. Namun, layanan satelit ini akan mengalami penurunan performa saat cuaca buruk seperti hujan atau angin kencang.
"Kalau cerah begini hampir sama dengan jaringan fiber optik kalau menurut saya. Makanya kalau mungkin cuaca angin berawan hujan ya itu yang yang kena pakai satelit," ujarnya.
James juga menegaskan bahwa layanan Starlink yang dipasang di desa bersifat unlimited dan saat ini difokuskan untuk kebutuhan perangkat desa, seperti pengiriman data elektronik dan laporan administrasi. Untuk masyarakat umum, program Starlink belum tersedia secara luas.
Selain Starlink, beberapa desa di Kupang juga telah memanfaatkan jaringan fiber optik dan BTS dari operator seluler untuk kebutuhan internet rumah tangga. Namun, akses fiber optik masih terbatas, sehingga masyarakat banyak mengandalkan paket data dari operator seluler atau membangun jaringan hotspot mandiri yang dikelola secara swadaya.
"Kebanyakan di desa seperti itu,” kata James.
James mengatakan sejak pandemi Covid-19, kebutuhan internet di desa semakin meningkat, terutama untuk mendukung pembelajaran daring dan aktivitas ekonomi masyarakat. Investasi desa dalam infrastruktur internet menjadi solusi utama agar akses informasi dan layanan publik tetap berjalan optimal hingga ke pelosok Kupang.