Tanda Bahaya yang Diabaikan
Jika dilihat ke belakang, sejumlah sinyal peringatan sebenarnya sudah tampak jelas. Perusahaan induk eFishery di Singapura mangkir dari kewajiban menyampaikan laporan keuangan tahunan selama bertahun-tahun — laporan tahun 2020 bahkan baru diserahkan pada 2024.
Yang lebih mencolok adalah tidak adanya perubahan berarti di pasar, meski eFishery mengeklaim tengah membuat gebrakan.
Menjelang akhir 2023, perusahaan mengaku telah menempatkan lebih dari 300.000 unit alat pemberi pakan di lapangan dan memiliki lebih dari 44.000 petambak ikan dan udang yang aktif menggunakan platformnya. Angka sebesar itu seharusnya mengubah lanskap industri secara menyeluruh.
Namun, saat seorang investor yang memiliki koneksi ke produsen pakan mencoba mempertemukan mereka dengan eFishery, Gibran tak merespons. Investor lain mengungkapkan bahwa Gibran kerap terlambat berbulan-bulan dalam memberikan data dasar, sementara salah satu produsen komponen kunci alat pakan mengaku hanya mampu memasok maksimal 5.000 unit per tahun.
Sementara itu, distributor pakan ikan terbesar di Indonesia juga kebingungan karena tidak melihat lonjakan penjualan seperti yang diklaim.
Usai meraih pendanaan Seri C, skala klaim yang dibuat Gibran makin membengkak. Ia bahkan mengatakan bahwa hanya petambak besar dengan omzet tahunan di atas US$1 juta yang cocok dengan model inflasi datanya. Setelah menyisir Indonesia, jumlah itu ternyata terlalu sedikit.
Awal 2022, Gibran mengakui seorang pegawai menyarankan solusi untuk membangun jaringan anak usaha dan mengendalikan akun petambak di dalam ekosistem eFishery. Sistem ini dibuat sedemikian kompleks sehingga transaksi bisa dimanipulasi sesuka hati.
Strategi itu berkembang menjadi lima anak usaha berbeda dan, dengan lebih dari 5.000 akun digunakan untuk transaksi pembelian pakan dan penjualan ikan.
Di sisi lain, Gibran menghabiskan dana riil untuk mengejar narasi pertumbuhan yang sudah dijual ke investor. Layanan pinjaman eFishery memang populer karena proses pencairan dan penagihan yang longgar, namun itu juga memicu lonjakan kredit macet. Aplikasi mereka pun sarat masalah teknis, memaksa perekrutan tim lapangan besar-besaran.
Saat itu, data palsu membuat eFishery tampak melesat. Media internasional menyorotnya sebagai kisah sukses. Gibran melebarkan bisnis ke India dan mengklaim sudah untung, seolah membuktikan bahwa model bisnis mereka layak go global. SWF 42X dari Abu Dhabi memimpin pendanaan Seri D senilai US$200 juta dengan valuasi US$1,4 miliar. KWAP, dana pensiun asal Malaysia, turut berpartisipasi.
Dalam proses ini, eFishery lolos dari tinjauan sejumlah investor spesialis dan kantor audit global. Grant Thornton mengaudit laporan keuangan 2022 dari entitas Indonesia. PwC, menurut tiga sumber, tinggal selangkah lagi meresmikan laporan terbaru.
Juru bicara Grant Thornton mengaku tengah menyelidiki dugaan pelanggaran ini dan menegaskan komitmennya terhadap kualitas audit. PwC Indonesia menolak berkomentar dan mengacu pada pernyataan sebelumnya bahwa mereka belum pernah menerbitkan laporan audit independen untuk eFishery.
Untuk pendanaan Seri B, Gibran menyebut ada 20 petambak yang dikunjungi. Untuk Seri C, sekitar 70 petambak diperiksa. Namun, pihak pelaksana due diligence yang tak diungkap identitasnya menggunakan database petambak dari eFishery dan memberitahukan terlebih dahulu siapa saja yang akan dikunjungi, kecuali sebagian kecil pengecekan acak. Ini memberi Gibran waktu untuk menyusun skenario.
Manajer wilayah dibekali lembar data, yang kemudian diturunkan ke petambak agar siap menerima tamu. Sisanya berpulang pada keberuntungan.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dan wilayah terpencil juga membuat audit jadi tantangan tersendiri. Bahkan alamat lengkap pun sering tak cukup tanpa bantuan dari warga lokal.