Starlink Kurang Fleksibel, Sulit Gantikan 4G dan 5G?

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 29 Mei 2024 | 15:17 WIB
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Satelit orbit rendah (Low earth orbit/LEO) Starlink sejauh ini diklaim mampu memberikan kecepatan internet hingga 300 Mbps per titik atau lebih cepat dari kecepatan ideal 4G dan 5G yang sekitar 100 Mbps per titik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan layanan 5G termasuk industri seluler. 

Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura  mengatakan masyarakat saat ini masih berada pada euforia atas layanan Starlink. Pasalnya, Starlink mampu memberikan internet dengan kecepatan lebih dari 200 Mbps per titik. Sebuah kecepatan luar biasa, yang bahkan melampaui rata-rata kecepatan 5G di Indonesia. 

Namun, dia menekankan bahwa internet Starlink masih sulit menandingi layanan 5G pun dengan teknologi seluler lainnya seperti 4G. Starlink dinilai masih kurang fleksibel. “Teknologi Starlink bukan untuk dibawa-bawa tetapi digunakan untuk posisi tetap seperti di rumah. Jadi tidak bisa menggantikan seluler,” kata Tesar kepada Bisnis, Selasa (28/5/2024).  

Jadi, dengan kata lain, pengguna seluler atau mobile phone harus menggendong perangkat Starlink kemana mana jika ingin selalu menikmati kecepatan internet 300 Mbps. Kemewahan tersebut dianggap kurang fleksibel.

Sekadar informasi, internet berbasis satelit membutuhkan alat penangkap sinyal yang harus selalu terhubung dengan tenaga atau listrik. Tanpa adanya pasokan listrik, alat penangkap sinyal tidak dapat berfungsi. 

Selain itu, alat penangkap sinyal harus terpapar langsung, tidak bisa “terganggu” oleh bangunan tinggi atau objek yang lebih tinggi di atas posisi perangkat Starlink. Maka itu, selama ini, perangkat Starlink lebih efektif digunakan untuk keperluan maritim. 

Sementara itu, layanan seluler dapat langsung digunakan di manapun tanpa membutuhkan alat penangkap sinyal berukuran besar dengan pasokan listrik seperti satelit. Alat penangkap sinyal seluler telah tertanam di smartphone. 

Elon Musk kabarnya tengah mengembangkan smartphone yang dapat terhubung langsung ke internet Starlink, namun teknologi tersebut masih diujicobakan.

Tesar juga mengkritisi mengenai harga layanan Starlink yang terbilang mahal jika dibandingkan dengan internet seluler. Sebagai perbandingan, harga termurah layanan Starlink seharga Rp750.000 per bulan. Sementara itu, dengan mengeluarkan 10% persen dari harga tersebut atau Rp75.000, masyarakat sudah mendapatkan internet seluler hingga belasan GB. 

Dengan harga yang mahal tersebut menurut Tesar, layanan Starlink hanya diperuntukan bagi masyarakat menengah hingga menengah ke atas. 

“Jadi tidak ada korelasi kalau ke seluler termasuk 5G. Dari sisi harga saja sudah beda, siapa yang mau membayar Rp750.000 per bulan kalau orang biasa,” kata Tesar kepada Bisnis, Rabu (29/5/2024).

Tesar menuturkan di luar membayar langganan 750.000 per bulan, konsumen tetap harus langganan internet mobile dengan membeli paket data bulanan. Kondisi ini membuat konsumen mengeluarkan biaya double.

Diketahui, kemampuan daya beli masyarakat terhadap layanan internet masih rendah. Masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di daerah rural, cenderung menganggarkan biaya yang relatif kecil untuk membeli paket internet mengingat tingginya biaya kehidupan sehari-hari karena inflasi. 

Survei APJII mengungkapkan pada 2023, mayoritas masyarakat (85%) menghabiskan uang dalam sebulan untuk membeli paket internet seluler sebesar Rp10.000- Rp100.000  

Kemudian untuk layanan internet tetap atau internet rumah, sebanyak 66,2% masyarakat berlangganan internet dengan tarif di kisaran Rp300.000 - Rp500.000 dan 26,18% untuk harga Rp300.001 - Rp500.000. 

Nilai tersebut jelas di bawah harga langganan terendah Starlink yang sebesar Rp750.000 per bulan. Tidak banyak masyarakat yang mampu membeli internet Starlink atau ada hal yang dikorbankan jika ingin membeli layanan internet berbasis satelit tersebut. 

Senada, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan meski saat ini Starlink memotong harga layanan perangkat keras, masyarakat ritel pun tidak lantas beralih ke Starlink. Sebab, harga layanan nya masih terbilang mahal.

Halaman:
  1. 1
  2. 2
Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper