Bisnis.com, JAKARTA - Pemegang saham PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN) melakukan diskusi tahap awal untuk menggabungkan bisnis seluler. Rencana tersebut ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), yang bertepatan dengan hadirnya satelit Starlink milik Elon Musk ke Indonesia.
Starlink merupakan satelit teknologi baru yang dapat memberikan layanan internet super cepat karena letaknya yang dekat dengan bumi sekitar 550 kilometer-2.000 kilometer. Jauh lebih unggul dari satelit GEO yang mengorbit diketinggian 36.000 kilometer di atas permukaan bumi.
Dengan jumlah satelit yang mencapai 5.900-an per April 2024, Starlink mampu memberikan internet sangat cepat. Di Bandung, salah seorang pengguna merasakan kecepatan internet Starlink menyentuh 250 Mbps - 300 Mbps. Angka ini setara dengan rata-rata kecepatan jaringan 4G yang sebesar 25-30 Mbps.
Baca Juga Merger XL Axiata (EXCL) dan Smartfren (FREN) Kian Intim, Gerak Saham dan Kinerja Saling Menjauhi |
---|
Menko Marver Luhut Binsar Pandjaitan mengapresiasi kehadiran Starlink. Dia meyakini Starlink akan membuat industri telekomunikasi seperti XL Axiata dan Smartfren, makin kompetitif dengan keunggulan yang dimiliki.
Sementara itu Pengamat teknologi silang pendapat soal kecepatan ini. Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan bahwa kecepatan satelit Starlink akan meredup seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna.
“Sekarang ini kan Starlink bisa 300 Mbps karena penggunanya masih sedikit, cuma satu orang saat melakukan pengujian test kecepatan. Ketika nanti penggunanya sudah banyak, kita tidak tahu,” kata Ian.
Berbeda, Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan dengan harga dan layanan internet yang mencapai ratusan Mbps per titik, cukup jadi solusi di berbagai area mulai dari rural bahkan hingga perkotaan.
Kecepatan Starlink yang tinggi menurutnya tak luput dari teknologi dan jumlah satelit yang mengorbit di atas bumi. Alhasil, meskipun jumlah penggunanya membludak di kemudian hari, layanan yang disediakan diperkirakan tetap terjaga.
“Pasti kalau tambah pengguna makin lambat, tetapi kan Starlink tidak hanya satu satelit,” kata Tesar.
Kekhawatiran
Pada pemberitaan Bisnis Indonesia, Senin (15/4/2024) Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa masuknya Starlink ke Indonesia akan mempengaruhi bisnis internet dan operator telekomunikasi dalam jangka menengah dan panjang.
Pasar ISP di daerah perkotaan dan dekat perkotaan tergantikan oleh Starlink, yang nantinya dapat memberi layanan langsung ke ritel.
“Dalam 2–5 tahun ke depan diprediksi akan banyak ISP terpaksa gulung tikar, apalagi yang segmen korporasi dan segmen perumahan di wilayah sub-urban dan urban,” kata Heru kepada Bisnis, Senin (15/4/2024).
Bukan hanya ISP, Heru menyebut operator telekomunikasi juga akan tertekan, di mana Starlink akan mengambil pasar operator telekomunikasi di Indonesia.
“Jangan kaget saja jika ada operator telekomunikasi yang dalam 3–5 tahun akan collaps,” ungkapnya.
Menurut Heru, jika operator telekomunikasi gulung tikar, maka juga akan berdampak pada penyedia menara.
Menara-menara telekomunikasi di perkotaan yang telah terbangun, akan menganggur dan sepi.
Dengan masuknya Starlink ke Indonesia, Heru mengimbau agar pemerintah untuk terus memantau dampak terhadap ISP dan operator seluler. Dia juga mewanti-wanti Starlink yang bisa mematok layanan internet yang harga lebih rendah dibandingkan pemain lain.
“Mewaspadai predatory pricing, di mana Starlink menjual produk dengan harga serendah mungkin sampai ISP dan operator seluler berguguran, dan setelah pada berguguran mereka akan kuasai pasar dan lakukan penaikan harga,” ungkapnya.
Sementara itu, pada Kamis (25/4//2024), Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini mengatakan bahwa untuk saat ini lebar cakupan kapasitas frekuensi (bandwith) yang ditawarkan Starlink masih terbatas. Begitu pun dengan cost structure alias struktur biaya yang merupakan komposisi biaya yang dikeluarkan terbilang mahal.
Namun, kata Dian, jika Starlink terus menambah jumlah satelit dan bandwith yang jauh lebih banyak, serta memiliki struktur biaya yang lebih kecil akan mengancam bisnis perusahaan telekomunikasi.
Starlink mendapat izin untuk mengorbitkan 12.000 satelit LEO. Adapun hingga akhir 2024, ditargetkan 6.400 satelit telah mengorbit.
“Kami melihat kalau mereka [Starlink] nanti bisa menambah satelit dan kapasitas jauh lebih banyak, nanti struktur biayanya lebih kecil itu baru akan menjadi ancaman,” kata Dian saat ditemui di XL Axiata Tower, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Data Ookla, lembaga independent pengukur kecepatn jaringan mengungkapkan, Starlink di Swiss memiliki salah satu median kecepatan unduh tercepat di antara negara-negara dengan Starlink selama kuartal II/2023 sebesar 122,47 Mbps.
Adapun, berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis, layanan Starlink ke Indonesia terbagi dua, yaitu korporasi dan ritel.
Layanan ritel Starlink tidak memiliki garansi throughput (best effort service). Layanan ini diberikan berupa performa standar, antena yang lebih kecil, dan kecepatan maksimal 250 Mbps, serta hanya tersedia konten layanan akses internet.
Sedangkan layanan korporasi memiliki garansi throughput minimal, high performance, antena yang lebih lebar dan kecepatan sampai dengan 500 Mbps. Layanan korporasi Starlink di Indonesia dapat diisi dengan konten sebagai link atau sebagai backhaul akses internet.
Dian menuturkan bahwa potensi ancaman Starlink belum dapat dipastikan kapan bakal terjadi. Yang jelas, dia menyampaikan bahwa teknologi akan terus bergerak semakin cepat.
“Yang pasti, kami berharap pemerintah bisa memberikan playing field yang sama. Kalau kami bayar BHP mahal, USO, dan sebagainya, seharusnya sama atau equal treatment,” ujarnya.
Diskusi Awal Merger
Pada Rabu (15/5/2024), Axiata Group Berhad (Axiata) dan PT Wahana Inti Nusantara (WIN), PT Global Nusa Data (GND), dan PT Bali Media Telekomunikasi (BMT), yang secara kolektif disebut sebagai Sinar Mas mengumumkan telah memasuki babak baru dengan penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) tidak mengikat untuk menjajaki rencana merger antara XL Axiata dan Smartfren dalam rangka menciptakan entitas baru (MergeCo).
"Rencana Transaksi ini masih dalam tahap evaluasi awal, di mana Axiata dan Sinar Mas memiliki tujuan untuk tetap menjadi pemegang saham pengendali dari MergeCo," papar siaran pers XL Axiata, Rabu (15/5/2024).
Pada saat ini, diskusi yang sedang berlangsung antara para pihak belum menghasilkan kesepakatan atau penyelesaian Rencana Transaksi yang mengikat. Validasi terhadap penggabungan dan penciptaan nilai bagi pemegang saham, uji tuntas, persiapan rencana bisnis bersama dan kesepakatan atas persyaratan penting akan menjadi kegiatan utama yang dilakukan selama tahap penjajakan yang diatur dalam MOU.
"Kami berupaya agar kehadiran entitas baru hasil konsolidasi dapat memberikan manfaat tidak saja bagi para pemegang saham dan karyawan, namun juga khalayak pengguna serta industri telekomunikasi Indonesia pada umumnya,” kata Managing Director Sinar Mas Ferry Salman.
Konsolidasi operasi menurut Ferry sejalan dengan strategi pengembangan portofolio bisnis pilar usaha Sinar Mas yang proaktif membuka kesempatan memperoleh nilai tambah dari seluruh aktivitas bisnis yang dilakukan.
“Sebagai bagian dari strategi ini, kami selalu mempertimbangkan berbagai opsi, termasuk konsolidasi, untuk mempercepat pertumbuhan serta keberlanjutan bisnis kami,” ujarnya