Bisnis.com, JAKARTA - Platform over the top (OTT) seperti WhatsApp, Google, YouTube hingga TikTok, dinilai perlu terlibat dalam pemerataan jaringan internet ke daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) dengan turut berkontribusi membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) universal service obligation (USO). Terdapat potensi pajak besar yang bisa diambil dari sana.
Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi ( LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan saat ini operator seluler diwajibkan membayar USO dengan nilai yang besar yaitu 1,25% dari total pendapatan. Artinya, jika pendapatan Indosat mencapai Rp30 triliun pada kuartal III/2023, biaya yang dipungut untuk USO sekitar Rp3 miliaran.
Sementara itu, TikTok hingga WhatsApp yang turut merasakan manfaat dari infrastruktur yang dibangun di 3T, tidak dibebankan biaya apapun.
“Artinya mereka harus dibebankan USO untuk membangun di daerah 3T. Betapa sedihnya operator seluler membangun infrastruktur, tetapi yang menikmati [termasuk di 3T] adalah OTT,” kata Kamilov, Rabu (27/12/2023).
Kamilov menduga bahwa ke depan operator seluler bukan lagi pemain utama dan tergerus oleh OTT. Pendapatan layanan TikTok dan lain sebagainya, akan lebih besar dari operator seluler dan sudah seharusnya dibebankan beban yang besar juga.
“Ini anomali. Rp8 triliun [nilai USO terkumpul pada 2015] tidak ada artinya bagi OTT,” kata Kamilov.
Sekadar informasi, merujuk data SNS Insider, pada 2022 pangsa pasar over the top global sebesar US$259,24 miliar atau Rp3.996 triliun. Jumlah tersebut diprediksi akan mencapai US$1.953 pada 2030, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sekitar 28,7%.
Kemudian World Internet Services Markets memperkirakan pendapatan OTT telah menyalip pendapatan operator pada 2021. Data tersebut menyebut OTT mengalami pertumbuhan 1.720% selama kurun waktu 2010-2021. Sementara itu pertumbuhan perusahaan telekomunikasi hanya 53%.
Alhasil, operator seluler global yang pada 2010 memiliki pendapatan US$458 miliar dan menjadi US$702 miliar pada 2021, tertinggal dari pendapatan OTT yang memiliki pendapatan US$753 miliar pada 2021 dari sebelumnya hanya US$40 miliar pada 2010.
Dengan jumlah potensi pertumbuhan yang besar tersebut - dan akan makin besar - pemerintah masih memburu dana pembangunan USO dari perusahaan operator seluler saja dan menutup mata terhadap nilai besar yang dikantongi oleh OTT.
“Tidak harus USO itu di operator saat ini. Harusnya OTT yang menjalankan USO. Jadi USO bukan lagi beban operator, tetapi menjadi beban OTT karena penghasilannya berlimpah-limpah,” kata Kamilov.
Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys mengatakan kondisi industri digital sedang meningkat pesat. Berbanding terbalik dengan industri telekomunikasi infrastruktur.
Padahal, ujar Merza, industri telekomunikasi infrastruktur yang sedang berdarah-darah ini dibebankan biaya penyelenggaraan yang cukup besar. Sementara di sisi lain, industri digital justru hanya dibebankan biaya pajak.
“Jangan cuma menarik biaya dari infrastruktur, (pemerintah) menarik (biaya) juga dari digital,” ujar Merza.
Merza yang merupakan Presiden Direktur dari Smartfren mengatakan para industri digital ini dapat dibebankan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ataupun biaya hak penyelenggaraan (BHP) universal service obligation (USO).
Merza bercerita pemerintah seakan tidak adil pada operator telekomunikasi infrastruktur. Menurut Merza, rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor operator seluler mencapai 12%. Angka inipun jauh lebih tinggi daripada data global yang sebesar 7% dan APAC 8,7%.
Padahal, BHP frekuensi merupakan salah satu dari sekian banyak biaya yang dibebankan pada operator infrastruktur.
Selain itu, Merza menambahkan pendapatan operator seluler saat ini hanya tumbuh sebesar 5,96%. Pertumbuhan trafik data di Indonesia yang mencapai 80,7% juga tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan operator.