Bisnis.com, JAKARTA - Thales Alenia Space, produsen kendaraan antariksa asal Perancis, angkat bicara mengenai rencana kehadiran satelit orbit rendah (LEO) Starlink di Indonesia pada 2024. Menurut produsen Satria-1 itu, produk mereka menawarkan kedaulatan bagi Indonesia berbeda dengan satelit milik Elon Musk.
SVP Sales Marketing Thales Alenia Space Martine van Schaik mengatakan setidaknya terdapat dua keunggula satelit Satria-1 dibandingkan Starlink. Pertama, perihal kedaulatan.
Starlink merupakan solusi internet yang berasal dari luar dan seluruh data dikelola di luar. Berbeda dengan Satelit Satria-1, yang dikelola langsung dan memiliki gateway di Indonesia sehingga pemerintah dapat memantau konten yang diberikan, hingga kapasitas yang mengalir ke suatu titik.
“Solusi kami adalah solusi kedaulatan. Indonesia yang menguasai data, yang mengontrol data, jadi pemerintah menggunakan satelit sesuai kebutuhan,” kata Martine kepada Bisnis, Selasa (28/11/2023).
Selain itu, lanjutnya, Satelit Satria juga memiliki konstalasi dan kapasitas yang dapat disebar dimana pun. Hal ini tidak terjadi di Starlink, yang membutuhkan banyak satelit untuk melayani seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu dalam sebuah diskusi, Direktur Telekomunikasi, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Kominfo Aju Widya Sari memastikan hingga saat ini Starlink belum dapat beroperasi secara langsung di Indonesia.
Kemenkominfo tidak pernah menerbitkan izin penyelenggaraan telekomunikasi untuk Starlink.
Aju memastikan untuk dapat beroperasi di Indonesia, seluruh perusahaan telekomunikasi harus memenuhi regulasi yang saat ini berlaku. Khusus penyelenggara telekomunikasi berbasis satelit, mereka harus memiliki hak labuh satelit dan izin penyelenggaraan jaringan telekomunikasi satelit.
Untuk penyelenggara telekomunikasi asing, Aju mengatakan harus ada asas resiprokal. Tanpa adanya asas itu, Kominfo tak akan memberikan izin penyelenggaraan telekomunikasi kepada operator asing.
“Semua operator telekomunikasi asing harus bermitra dengan operator telekomunikasi Indonesia. Ketika bermitra, maka yang harus bertanggungjawab adalah operator Indonesia yang ditunjuk sebagai mitranya,” ucap Aju.
Dia melanjutkan ketika hak labuh sudah didapatkan, satelit asing tersebut belum bisa memberikan layanan telekomunikasi langsung kepada masyarakat Indonesia.
Aju mengatakan operator satelit asing yang hendak memberikan layanan telekomunikasi juga harus ada izin penyelenggaraan telekomunikasi yang sangat ketat.
Izin tersebut termasuk kewajiban menyiapkan gateway, IP dan NAP Indonesia. Mereka juga harus memiliki kantor, pusat pengoperasian, dan pusat layanan keluhan pelanggan.
Adapun saat ini, menurut Aju, Starlink nampak tidak ingin memenuhi persyaratan izin penyelenggaraan telekomunikasi Indonesia tersebut.
“Jika ada perangkat Starlink masuk dan beroperasi di Indonesia, itu ilegal dan bisa kita sita perangkatnya,” pungkas Aju.
Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan sebelum Starlink dapat memberikan layanan ke masyarakat Indonesia secara langsung (B2C), Kemenkominfo perlu melakukan cost-benefit dan risk-based analysis dari berbagai sudut.
Beberapa negara seperti RRT, Turki sudah melakukan cost-benefit dan risk-based analysis terhadap kehadiran Starlink di negaranya. Sehingga seluruh pemangku kepentingan perlu melakukan asesmen impak, analisis cost-benefit dan analisis berbasis-resiko.
Sementara itu, tim kluster riset siber Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Mawardin menilai Kemenkominfo perlu menolak rencana Starlink yang ingin memberikan layanan B2C kepada masyarakat Indonesia, mengingat kehadiran Starlink di Indonesia memiliki dampak terhadap aspek keamanan nasional. Khususnya dalam apsek separatisme dan terorisme.
Berdasarkan policy paper yang dibuat SKSG UI, rekam jejak dan kontroversi Elon Musk kerap kali mempengaruhi geopolitik di berbagai negara.
Mawardin memberikan contoh debut Elon Musk di perang Ukraina, kerusuhan di Iran dan gempa di Turki. Bahkan menurut SKSG UI, Elon Musk telah memanfaatkan secara ekonomi dominasi layanan internet Starlink.
Selain dapat mempengaruhi geopolitik dan geoekonomi, menurut SKSG UI, Starlink yang dibiayai Departemen pertahanan Amerika Serikat juga rawan dimanfaatkan untuk memata-matai suatu negara. Termasuk Indonesia.
“Jika Starlink diberikan ruang untuk beroperasi B2C di Indonesia, maka akan berdampak kepada keamanan nasional Indonesia, khususnya di Papua. Pemerintah Amerika Serikat dapat mengakses informasi krusial di Papua melalui Starlink,” ucap Mawardin .