Bisnis.com, SOE - Infrastruktur telekomunikasi kini bertengger kokoh di tengah gugusan pohon rindang yang mengelilingi Desa Boti. Sedikit demi sedikit, kehadiran menara jaringan itu membantu aktivitas ekonomi hingga sistem pendidikan sejumlah warga Boti.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.05 WITA, ketika Tim Jelajah Sinyal 2023 memasuki kawasan Desa Boti, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Medan perjalanan ke wilayah itu tak mudah, butuh 4 jam dari Kupang untuk sampai ke Desa Boti.
Desa Boti merupakan kediaman Suku Boti, salah satu suku tertua di NTT. Suku Boti merupakan suku asli pulau Timor, yaitu Atoni Metu. Suku ini jarang dijangkau dunia luar lantaran letaknya yang berada di tengah lembah perbukitan.
Kebul debu pasir putih telah mewarnai mobil hitam Innova yang kami tumpangi. Di dusun terluar Desa Boti, salah satu penduduk asli, Yosepus Sae yang sedang menjemur kemiri dan asam menyambut kehadiran Tim Jelajah Sinyal.
Pria berusia 41 tahun itu sehari-hari bekerja sebagai petani dan peternak. Dia menanam berbagai macam pangan, misalnya jagung, ubi, pisang, dan mengelola hasil bumi, seperti kemiri dan asam, sedangkan peternakan yang dikembangkannya mencakup babi dan kambing.
"Itu persiapan kami makan selama setahun. Kalau lebih kita jual, kalau pas kita tidak jual, untuk keluarga saja," kata Yosepus, Minggu (27/11/2023).
Dalam periode tertentu, seperti di penghujung tahun ini, dia mulai menghitung berapa banyak yang dapat ditanam dan potensi hasil panen. Jika lebih dari kebutuhan pribadi, maka akan dijual ke pasar.
Sebelum ada jaringan sinyal, warga Boti harus menjual berbagai hasil panennya ke pasar yang letaknya di Niki Niki. Setidaknya butuh menempuh 30 kilometer (km) lebih untuk bisa ke sana dari Desa Boti. Dari perjalanan jauh itu, hanya Rp50.000 per kilogram (kg) yang bisa didapatkan untuk menjual kemiri.
Setelah mengenal penggunaan handphone pun, Yosepus tetap kesulitan karena tidak terjangkaunya di beberapa titik. Setidaknya, dia harus menempuh jarak 5-6 km untuk mendapatkan sinyal mumpuni.
"Kami senang karena sudah setahun lebih mulai ada tower di sini, hubungan keluarga kami atau keperluannya apa terjangkau saat itu juga," tuturnya.
Sinyal yang kuat semakin mudah menghubungkan Yosepus dengan pembelinya di luar Boti. Dia bisa mendapat kepastian pesanan hanya dalam waktu beberapa menit saja. Satu ton asam bisa terjual cepat dengan keterjangkauan sinyal.
Jika ada pengepul yang membutuhkan hasil panen lainnya pun dia siap memenuhinya. Namun, belakangan ini, Yosepus mengalami gagal panen beberapa kali dikarenakan cuaca yang tak menentu.
"Ini tahun memang kami gagal, kalau kemiri punya banyak bisa 500 kg paling tinggi 200. Kalau asam setiap tahun kami bisa 1 ton, tetapi ini tahun tidak sampai 500 kg," ujarnya.
Di sisi lain, dia pun tidak perlu mengantar jauh hasil panennya ke Niki Niki lagi. Sebab, pembeli dapat langsung mengambil pesanannya ke wilayah Boti. Hanya dengan sekali telepon, warga Boti perlahan terhubung dengan pasar luar wilayah.
Yosepus membawa Tim Jelajah Sinyal berkeliling ke sekitar rumahnya yang memiliki Ume Kbubu atau rumah bulat. Ume Kbubu merupakan bangunan tradisional yang dijadikan sebagai lumbung pangan atau tempat menyimpan makanan.
Dia bercerita bahwa yang dapat masuk dan mengolah makanan di dalam Ume Kbubu hanya para wanita, sementara lelaki bertugas untuk menanam dan beternak.
Jangkau Pendidikan
Orang dewasa di Boti merasa sudah cukup memanfaatkan jaringan sinyal telepon. Namun, keperluan penggunaan internet tak terbantahkan untuk menunjang pendidikan anak-anak.
Pukulan pandemi Covid-19 yang menuntut berbagai pihak untuk bertransformasi digital pun terjadi di Boti. Anak Yosepus, bernama Juned, sudah mulai menggunakan android dan memanfaatkan jaringan untuk belajar secara online.
"Itu karena sekarang ini zaman belajar lewat online, entah mau ada atau tidak, kita harus berupaya untuk anak-anak dengan pakai internet," ungkap Yosepus.
Sejak pandemi, pembelajaran online mulai diberlakukan dan memaksa anak-anaknya untuk dapat memperlajari dunia digital. Kondisi ini mendorong transformasi digital di sektor pendidikan berlangsung cepat.
Kendati demikian, Yosepus menekankan bahwa hanya beberapa masyarakat Desa Boti yang menerima dan memanfaatkan era digital ini. Sebab, beberapa dusun terdalam memilih untuk menolak modernisasi dan mempertahankan kebudayaan salah satu suku tertua di Timor itu.
Yosepus bersyukur jaringan internet yang mumpuni di wilayahnya dapat membantu aktivitas pembelajaran dan dia percaya digitalisasi akan membawa perubahan dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil Speedtest by Ookla, Minggu (26/11/2023), menunjukkan kecepatan untuk mengunduh 27,1 Mbps. Sementara itu, kecepatan mengunggah mencapai 20 Mbps. Speedtest adalah layanan untuk menguji kecepatan koneksi internet di perangkat seperti ponsel, tablet, PC, dan lain-lain.