Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pengamat turut merespons mengenai aksi pemblokiran beberapa platform layanan gim dan aplikasi luar negeri yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSRec Pratama Persadha mengatakan langkah pemerintah untuk melakukan pemblokiran dengan kondisi saat ini memang serba salah.
Penyebabnya, di satu sisi Kemenkominfo sebenarnya sudah melakukan sosialisasi sejak akhir 2021, tetapi gerakan ini terlihat kurang masif sehingga tidak sampai dengan baik kepada masyarakat.
Kendati demikian, dia melanjutkan Kemenkominfo juga perlu dikritik sebab alasan Permenkominfo ini adalah untuk melindungi keamanan data pribadi masyarakat.
“Namun masalahnya, ini sebenarnya adalah domain tugas utama dari UU PDP [Perlindungan Data Pribadi], yang menjadi tanggung jawab Kemkominfo bersama DPR. Jadi rasanya Kemkominfo seperti meninggalkan RUU PDP, meski Permenkominfo PSE privat ini sudah ada sejak 2020. Sejatinya akan lebih baik jika Permenkominfo PSE Privat ini mengikuti UU PDP nantinya,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (31/7/2022).
Namun, dia melanjutkan di sisi lain, dengan ketiadaan UU PDP, PSE terlihat makin masif dalam mengeruk data dan uang dari masyarakat.
“Nah selama ini mereka bebas melenggang, tidak bayar pajak misalnya, bilapun bayar pajak tidak sesuai. Lalu bila ada masalah hukum, aparat akan kesulitan meminta data terkait karena posisi kantor diluar negeri, jadi lebih sulit prosedural dan jangkauannya dalam beberapa situasi,” tuturnya.
Dia mengatakan bahwa menjadi sulit sekarang ini adalah ternyata begitu banyak PSE yang diblokir ini digunakan secara luas.
“Memang Google belum diblokir meski tidak jelas apakah sudah mendaftar atau belum. Namun aplikasi seperti Paypal misalnya yang diblokir, ternyata menjadi tools favorit para freelancer Tanah Air yang mencari uang lewat project dari website luar negeri. Dengan diblokir, mereka sulit untuk menarik uang dari akun PayPal mereka,” tuturnya.
Dia menyebut tentu pemblokiran bisa dibuka kembali dengan beberapa situasi. Pertama, bila PSE tersebut melakukan pendaftaran. Kedua, Kemenkominfo membuka pemblokiran guna memberikan waktu bagi masyarakat misalnya untuk migrasi ke aplikasi lain yang sudah mendaftar.
Masalahnya, Pratama menilai bisa saja aplikasi yang dibutuhkan tersebut tidak ada subtitusinya, misalnya layanan Google. Untuk itu, pemerintah harus melakukan berbagai hal untuk jangka panjang kita punya berbagai layanan alternatif yang dipakai masyarakat banyak.
“Tentu ini bukan kerja 1—2 minggu saja. Perlu perencanaan lebih panjang, realisasi program seperti ini bisa sampai 20—25 tahun. Jadi bukan hal yang instan,” ujarnya.
Pratama mencontohkan, misalnya dari perbaikan infrastruktur digital. Lalu perbaikan SDM, bahkan untuk SDM ini 80 persen sarjana kita tidak bekerja sesuai apa yang mereka pelajari di bangku kuliah. Kemudian, keberpihakan negara dalam mendorong pertumbuhan dan pemakaian aplikasi lokal jelas sangat dibutuhkan.
“Jadi Kominfo bilang pemblokiran PSE sebagai kesempatan aplikasi lokal naik, juga harus diikuti oleh berbagai program riil yang benar-benar harus dilaksanakan dan bermanfaat untuk kemajuan ekosistem digital tanah air,” katanya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Ian Yosef Matheus Edward menilai langkah yang diambil pemerintah sudah tepat.
“Memang PSE yang berasal dari luar ada yang belum tahu mengenai kebijakan ini. Dan tidak mungkin Kemenkominfo harus melakukan pendataan untuk semua PSE, pendaftaran PSE ini memang peran aktif dari pemiliki PSE sendiri. Wajar apabila terdapat kendala. Ya tinggal diberikan teguran dan batas waktu,” tuturnya.
Selain itu, dia menilai kemampuan anak bangsa untuk membuat aplikasi serupa memang tidak diragukan lagi. Hanya yang lebih penting adalah bagaimana menjalankan/menjual aplikasi yang layak secara bisnis dan keberlangsungannya tinggi.
“Ini yang harus dijaga. Potensi memang tidak bisa instan, sebenarnya bisa diawali dengan bekerja sama atau konsorsiun, sambil mengembangan produk sendiri,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development on Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menilai tindakan pemerintah ini memang tidak memikirkan jauh ke depan dan siapa yang kena efek paling besar dari kebijakan ini.
Terlebih beberapa situs yang diblokir ternyata juga membayar pajak yang artinya berkontribusi terhadap penerimaan negara.
“Kemudian Kemkominfo mengatakan kalo anak bangsa bisa membuat hal yang serupa, di satu sisi tetap membahas metaverse, printer 4D, dan lainnya. Namun, perangkat untuk membuat aplikasinya diblokir. Makanya saya heran antara yang diinginkan sama dilakukan bertolak belakang,” katanya.