Meski Tinggi, Biaya Regulasi Telekomunikasi Mustahil Dikurangi

Rahmi Yati
Jumat, 13 Mei 2022 | 06:12 WIB
Petugas teknisi XL memeriksa perangkat jaringan BTS 4G di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/6)./Antara-Yulius Satria Wijaya
Petugas teknisi XL memeriksa perangkat jaringan BTS 4G di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/6)./Antara-Yulius Satria Wijaya
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Biaya regulasi telekomunikasi Tanah Air dinilai masih cukup tinggi bila dibandingkan negara lain. Meski bisa berdampak bagi perkembangan industri, kewajiban pembayaran tersebut tidak mungkin dikurangi dari segi jumlah apalagi dihilangkan.

"Biaya regulasi tidak mungkin dikurangi ataupun dihilangkan, karena merupakan salah satu pemasukan negara dan juga untuk pembangunan di daerah 3T [tertinggal, terdepan, dan terluar] yang semuanya untuk memberikan manfaat bagi masyarakat," kata Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Ian Yosef M. Edward, Kamis (12/5/2022).

Dia memerinci, biaya regulasi dari operator telekomunikasi ini biasanya mencakup Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) dan USO (Universal Service Obligation), serta saat ini juga terdapat kewajiban pembangunan jaringan ke seluruh wilayah Indonesia.

Dengan begitu, sambung dia, tentu operator juga harus memenuhi kewajiban pembangunan dengan menyiapkan modal (capex) untuk seluruh wilayah Indonesia, sesuai dengan izin IPFR yang berlaku nasional.

Sebelumnya, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyebut beban biaya regulasi (regulatory charges) operator seluler di Indonesia terbilang masih cukup tinggi, yakni bisa berkontribusi 20 hingga 25 persen dari total biaya operasional atau operating expenses (Opex).

Ketua Bidang Infrastruktur Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan tingginya beban biaya tersebut bisa berdampak bagi perkembangan industri telekomunikasi Tanah Air.

Padahal, lanjutnya, sudah banyak yang menyuarakan agar ada upaya pengurangan beban regulasi tersebut secara signifikan, tetapi belum terlihat upaya serius ke arah sana.

"Bahkan, capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak [PNBP] jadi bagian dari kinerja pemerintah, sehingga alih-alih turun, justru ada yang kemungkinan naik. Meskipun secara perbandingan internasional, beban regulasi di Indonesia sudah cukup tinggi," ucapnya.

Dia menuturkan regulatory charges atas industri telekomunikasi sangat beragam, baik jenis maupun tarif serta otoritas pemungutnya dan menimbulkan beban pungutan berganda vertikal dan horizontal.

Banyaknya pungutan itu, sambung Sigit, menimbulkan costs yang pada akhirnya dapat mendistorsi perkembangan industri telekomunikasi.

"Padahal saya melihat masih banyak peluang bagi bisnis operator seluler di Indonesia. Di antaranya, menindaklanjuti tumbuhnya demand yang sangat signifikan selama masa pandemi dua tahun lebih, seperti dalam bentuk perbaikan kualitas dan cakupan broadband," imbuh dia.

Sebagai salah satu operator seluler yang wajib membayar biaya regulasi, Presiden Direktur & CEO XL Axiata Dian Siswarini mengatakan pada kuartal I/2022, beban biaya operasional perusahaan meningkat 14 persen (YoY) dari Rp3,13 triliun jadi Rp3,57 triliun yang salah satunya disebabkan dari naiknya beban biaya regulasi.

"Perusahaan mencatat adanya peningkatan beban biaya operasional sebesar 14 persen [YoY] menjadi Rp3,57 triliun dari Rp3,13 triliun lantaran meningkatnya beban biaya regulasi serta biaya penjualan dan pemasaran selama kuartal I/2022," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmi Yati
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper