Author

Siswa Rizali

Anggota Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji

Siswa Rizali saat ini aktif di Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji. Peraih gelar Master of Science dari Economics National Univrsity of Singapore ini pernah menjadi Direktur Utama Asanusa Asset Management periode 2015-2018.

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Geliat IPO Startup dan Risiko Pasar

Siswa Rizali
Kamis, 12 Mei 2022 | 08:59 WIB
Ilustrasi startup/
Ilustrasi startup/
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu strategi exit dari investasi di private startup adalah dengan melakukan penawaran perdana kepada publik (initial public offering/IPO) di pasar modal.

Apalagi selama 2014—2021, indeks S&P 500 Information Technology Sector outperform dengan kenaikan mencapai 422 persen (22,9 persen per tahun), dibandingkan indeks S&P500 yang naik 158 persen (12,6 persen per tahun). Rally saham teknologi sendiri mulai mengalami perlambatan di akhir 2021.

Bahkan sepanjang tahun berjalan 2022, kinerja saham sektor informasi dan teknologi jauh tertinggal dibandingkan dengan kinerja indeks S&P500. Sentimen koreksi ini adakah risiko pasar bagi perusahaan startup yang memutuskan IPO.

Kondisi serupa terjadi di Indonesia. Keberhasilan IPO startup unicorn Bukalapak (Juli 2021) dan PT GoTo (April 2022) diikuti dengan koreksi harga saham yang signifikan. Per 29 April, harga saham Bukalapak dan PT GoTo masing-masing telah terkoreksi 55 persen dan 20 persen dibandingkan dengan harga saat IPO.

Tren koreksi harga saham startup pasca-IPO akibat risiko pasar terjadi secara global. Penulis mendata 100 startup yang melakukan IPO di beberapa bursa dunia. Sampel startup IPO di bursa Amerika, Jepang, India, dan Eropa, masing-masing berjumlah 71, 10, 7, dan 12.

Periode IPO di Amerika yaitu 2019—2021, di Jepang sepanjang 2020—2021, dan di India dan Eropa hanya pada 2021. Perubahan harga dihitung sesuai harga saham penutupan per 29 April 2022 dibandingkan dengan harga penawaran saat IPO.

Dari 100 perusahaan, 74 perusahaan (74 persen) harga sahamnya dibawah harga IPO. Dari 71 perusahaan startup yang IPO di Amerika, 56 perusahaan (79 persen) harga sahamnya dibawah harga IPO. Porsi perusahaan startup yang IPO di bursa Amerika tahun 2021 dengan harga sahamnya saat ini di bawah harga IPO mencapai 97 persen, lebih banyak dibandingkan yang IPO pada 2020 dan 2019 yaitu masing-masing 68 persen dan 57 persen.

Porsi harga saham startup dibawah harga IPO di Jepang dan Eropa masing-masing 60 persen dan 67 persen, serupa dengan kondisi di bursa Amerika. Porsi startup di bursa India yang harga sahamnya di bawah harga IPO lebih sedikit, yaitu 57 persen.

Uber sebagai pionir startup mobility IPO di 2019 dengan valuasi US$82 miliar, harga sahamnya telah koreksi 30 persen. Perusahaan startup unggulan e-commerce dan mobility yang harga sahamnya turun dibawah harga IPO diantaranya: Coupang (Korea), Deliveroo (Eropa), Grab (Asean), Auto1 Group (Eropa), dan Didi Chuxing (China).

Harga saham perusahaan startup tersebut terkoreksi antara 63 persen—87 persen, dengan rata-rata koreksi sekitar 74 persen. Startup fintech, seperti Nubank (Brazil), Wise (Inggris), Coinbase (investing platform), Paytm (India), dan Robinhood (investing paltform), juga terkoreksi antara 33 persen—74 persen, dengan rata-rata koreksi 57 persen.

Ada 10 startup tersebut diatas IPO di 2021 dengan valuasi fantastis, antara US$10 miliar—US$86 miliar, dengan rata-rata kapitalisasi US$38 miliar.

Tujuh perusahaan startup dengan kenaikan harga saham diatas 100 persen sejak IPO, ternyata enam diantaranya memiliki valuasi dibawah US$10 miliar. Lima diantaranya penyedia perangkat lunak (software as a service/SaaS), seperti Zoom Video, dan dua market place (Airbnb dan Chewy.com). Tiga diantaranya sudah laba, sedangkan empat lain menunjukkan perbaikan berupa rugi per unit yang mengecil (smaller loss per unit economics).

Dari sampel, paling tidak ada tiga faktor penyebab koreksi harga saham startup yang baru IPO tersebut.

Pertama, valuasi saham yang sangat mahal. Valuasi saham yang sangat mahal akan memicu investor yang berbasis analisa fundamental menjual saham tersebut. Saat banyak investor yang menjual, maka harga saham tersebut mulai terkoreksi, memaksa investor momentum yang membuat keputusan menggunakan analisa teknikal juga ikut menjual.

Sebagai contoh, saat Zoom mencapai titik harga tertinggi US$568 per saham, di Oktober 2020, valuasi saham Zoom berdasarkan Price to Sales Ratio (PS) mencapai 90x lebih. Padahal, saham-saham unggulan seperti Amazon dan Microsoft, rasio PS-nya saat itu masing-masing sekitar 5x dan 11x. Per 29 April, harga saham Zoom terkoreksi 82 persen dibandingkan titik tertinggi Oktober 2020, menjadi US$100.

Kedua, kinerja perusahaan startup yang dibawah ekspektasi pasar. Kinerja Zoom untuk tahun 2021 sebenarnya diatas konsensus pasar. Namun, proyeksi pertumbuhan pendapatan Zoom untuk 2022 turun menjadi 11 persen, dibandingkan 2021 yang mencapai 55 persen, dan dibawah perkiraan analis yang sekitar 15 persen (Barrons.com, 2 Maret).

Grab gross merchandise volume (GMV) dan pendapatan tahun 2021 masing-masing naik 29 persen dan 44 persen dibandingkan tahun 2020. Namun, rugi Grab pada 2021 mencapai US$3,6 miliar, naik 30 persen dibandingkan dengan rugi US$2,7 miliar pada 2020. Akibatnya, harga saham Grab terkoreksi 37 persen per hari pada 3 Maret.

Koreksi ekstrem harian akibat kinerja fundamental dibawah harapan pasar juga dialami saham startup WeWork, Lyft, dan Teladoc, yang masing-masing terkoreksi sebesar 22 persen (4 Maret), 30 persen (4 Mei), dan 40 persen (28 April).

Ketiga, risiko kenaikan suku bunga global. Sejak awal 2021, US Treasury yield (tenor 10 tahun) terus mengalami kenaikan dan mengalami akselerasi di 2022 menjadi 3,1 persen, dibandingkan titik terendah 0,5 persen pada 2020.

Pada saat bunga sangat rendah, horison investor makin panjang dan bersedia bersabar dengan investasi pada perusahaan merugi. Prospek pertumbuhan pendapatan perusahaan menjadi lebih penting daripada laba. Investor mentolerir kinerja perusahaan yang lemah dan tidak mempertanyakan fundamental secara detail.

Saat suku bunga pasar naik, sikap investor berbalik 180 derajat: horison investasi menjadi pendek, arus kas dan laba menjadi lebih penting daripada harapan pertumbuhan pendapatan, dan investor menghindari investasi yang bersifat spekulatif. Akibatnya, perusahaan startup yang belum menghasilkan laba, meski tumbuh tinggi (unprofitable growth), cenderung akan dihindari oleh investor publik.

Prospek jangka panjang investasi startup berbasis IT tetap baik mengingat dimasa mendatang perusahaan berbasis teknologi akan makin penting dalam kegiatan ekonomi. Namun, untuk mendapatkan keuntungan dari investasi startup, investor harus memperhatikan valuasi dan kinerja fundamental perusahaan, serta siklus ekonomi. Risiko fluktuasi pasar pasca-startup IPO mengindikasikan bahwa valuasi private startup cenderung kemahalan dan tidak objektif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Siswa Rizali
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper