Indonesia Darurat Perlindungan Data, Pemerintah Perlu Tiru Eropa

Rahmi Yati
Senin, 25 April 2022 | 23:56 WIB
Ilustrasi perlindungan data pribadi saat belanja di toko online atau e-commerce. /Freepik.com
Ilustrasi perlindungan data pribadi saat belanja di toko online atau e-commerce. /Freepik.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Ahli keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha menyarankan pemerintah Indonesia mengadopsi Regulasi Umum Perlindungan Data (General Data Protection Regulation/GDPR) yang diberlakukan di Uni Eropa.

Menurutnya, semangat seperti GDPR di Eropa bisa di implementasikan di Indonesia. Sebab, sudah terlalu lama data dari masyarakat diekspolitasi luar biasa oleh raksasa teknologi multinasional sementara negara tidak mendapatkan apapun.

"Tentu aturannya tetap di dalam Undang-undang Perlindungan Data Pribadi [PDP] karena setiap perkara data pribadi akan diselesaikan lewat Komisi PDP yang juga diatur dalam UU ini," katanya, Senin (25/4/2022).

Pratama menilai Uni Eropa memang sangat ketat untuk urusan keamanan data. Adanya perangkat hukum GDPR membuat negara tersebut leluasa melayangkan gugatan dan menang.

Dia mencontohkan, Google paling sering bermasalah dengan pihak Uni Eropa. Sebelumnya raksasa teknologi itu terkena masalah monopoli pada Android dan juga penggunaan data serta pengumpulan data yang berakhir pada denda puluhan triliun rupiah oleh pengadilan Eropa.

Namun, sambung dia, nampaknya berbagai denda pada Google dan perusahaan teknologi lain dirasa masih sangat kurang dan dianggap belum menimbulkan rasa jera sehingga fokus dari GDPR yang baru, yakni UU Layanan Digital atau Digital Services Act/DSA di Eropa salah satunya adalah memperbesar denda.

"Semoga Komisi I tidak terburu-buru dan mampu melihat tren GDPR di Eropa ini sebagai pelajaran bahwa ternyata denda mereka selama ini dirasa kurang besar dan kurang memberikan efek jera. Jadi DPR dan Kominfo harus menyadari dengan jumlah netizen Indonesia yang tembus 200 juta orang ini, harus sangat kuat regulasi denda dan bahkan pidana untuk mengamankan data pribadi masyarakat," imbuh Pratama.

Dia melanjutkan, denda menjadi salah satu objek UU PDP yang krusial. Substansi denda dan penegakan hukumnya lewat Komisi PDP harus diperkuat.

Filosofi UU PDP ini, tambah Pratama, adalah melindungi data pribadi masyarakat, tidak hanya dari bentuk-bentuk kejahatan, tetapi juga eksploitasi yang bertentangan dengan norma kehidupan di Tanah Air serta nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia (HAM).

"Sebenarnya sangat mungkin UU PDP nanti harus dibuat seketat mungkin, tetapi juga jangan sampai membatasi perkembangan ekonomi digital dan ekosistemnya. Aturan yang ketat ini harus ada agar jelas aturan mainnya," tutup Pratama.

Sebagai informasi, berdasarkan catatan Bisnis, Minggu (24/4/2022), perusahaan teknologi raksasa dunia kembali menjadi objek pengetatan pengawasan regulator setelah parlemen Eropa dan anggota Uni Eropa menyepakati UU Layanan Digital (Digital Services Act/DSA).

Beleid ini akan mempermudah negara-negara di kawasan untuk melayangkan tuntutan denda miliaran dolar kepada para perusahaan tersebut. UU ini menjadi jawaban bagi kegagalan para raksasa teknologi untuk melawan konten ilegal di platform mereka.

Perusahaan terancam dikenakan denda hingga 6 persen dari total penjualan tahunan global setelah UU ini berlaku paling cepat pada 2024. Selain itu, beberapa aturan lainnya adalah larangan menggunakan data sensitif seperti ras atau agama untuk menarget iklan, larangan menarget iklan kepada anak-anak, dan larangan menggunakan pola gelap yang secara spesifik menjadi taktik untuk menjaring orang untuk dilacak secara online.

Aturan ini akan berlaku untuk semua platform. Adapun situs yang memiliki lebih dari 45 juta pengguna harus mematuhi aturan yang lebih ketat seperti membayar Brussels biaya pengawasan sebanyak 0,1 persen dari pendapatan tahunan global. Perusahaan juga harus membuat laporan tahunan tentang konten ilegal dan berbahaya di situs mereka.

Di Indonesia sendiri, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) mengalami kemajuan positif. Pemerintah dan Komisi I sudah mendapatkan titik temu terkait pembahasan kebijakan tersebut.

Permasalahan yang dimaksud yaitu terkait status lembaga pengawas pengguna data pribadi. Seluruh fraksi di Komisi I meminta lembaga tersebut bersifat independen. Sedangkan Kemenkominfo ingin badan tersebut ada di bawah pemerintah.

Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo, dikatakan bahwa Komisi I ingin segera mengesahkan RUU PDP pada masa sidang berikutnya yakni dalam pembahasan rapat secara internal atau minimal selesai dan disahkan pada Masa Sidang V Tahun 2021-2022.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmi Yati
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper