Bisnis.com, JAKARTA - PT Net Satu Indonesia terpaksa kehilangan hak penggunaan frekuensi usai tak kunjung membayar biaya hak penggunaan selama 2 tahun.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) secara tegas telah mengeksekusi frekuensi pada rentang 450-457,5 MHz dan 460-467,5 MHz.
Proses pencabutan tidak terjadi begitu saja. Sebelum dicabut, Net Satu yang sebelumnya bernama PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI), bagian dari Sampoerna Strategic Group, sempat menggugat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Gugatan Sampoerna Telekom didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada hari Jumat (16/4/2021) dan telah terdaftar dengan nomor 102/G/2021/PTUN.JKT.
Salah satu obyek gugatan Sampoerna Telkom adalah Keputusan Menkominfo No.456/2020 tentang Besaran dan Waktu Pembayaran Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Untuk Izin Pita Frekuensi Radio Tahun Kelima Pada Rentang 450-457,5 MHz Berpasangan dengan 460-467,5 MHz PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
Dalam petitum gugatannya, salah satu anak usaha Sampoerna Strategic Group itu meminta hakim PTUN menetapkan sejumlah putusan.
Pertama, membatalkan Keputusan Menkominfo No.456/2020. Kedua, memerintahkan Menkominfo mencabut Keputusan Menkominfo No. 456/2020.
Ketiga, membatalkan Surat Menkominfo tanggal 2 Oktober 2020 tentang Rincian Tagihan Pembayaran Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio serta setiap tindakan administrasi sebagai pelaksanaan atau akibat hukum dari KM Kominfo No.631/2019 dan obyek gugatan.
Keempat, memerintahkan menkominfo untuk mencabut Surat Tergugat tanggal 2 Oktober 2020 tersebut.
Kelima, memerintahkan Menkominfo menyesuaikan besaran nilai komponen K pada Biaya Hak Penggunaan Frekuensi Radio untuk Izin Pita Frekuensi Radio Sampoerna Telkom tahun 2019, 2020, serta tahun-tahun selanjutnya adalah maksimal sebesar 63,540633.
Keenam, memerintahkan tergugat untuk melakukan penyesuaian kewajiban membayarkan BHP IPFR Penggugat tiap tahunnya yaitu BHP Tahun Ke-empat 2019 dan BHP Tahun Ke-lima 2020, serta untuk BHP tahun-tahun selanjutnya.
Gayung bersambut, Johnny mengatakan Kemenkominfo akan mengikuti jalannya proses persidangan dengan melibatkan Jaksa Pengacara Negara.
Johnny menjelaskan bahwa STI adalah pemegang Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler pada pita frekuensi 450 MHz berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 1660/2016 pada 20 September 2016.
Berdasarkan izin tersebut, kata Johnny, STI dikenakan BHP Spektrum Frekuensi Radio berdasarkan formula BHP Izin Pita (IPFR) yang besarnya ditetapkan setiap tahunnya melalui suatu Keputusan Menteri.
Adapun terkait Keputusan Menteri no.456/2020 merupakan Penetapan BHP IPFR STI Tahun Kelima atau pada 2020. Kepmen tersebut ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2015.
Tertulis di sana bahwa Menteri menetapkan besaran dan waktu pembayaran BHP IPFR tiap tahunnya, dan berdasarkan PP 53/2000 pembayaran wajib dilakukan di muka sebelum spektrum frekuensi radio dipergunakan untuk tiap tahunnya.
“Segala peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari penerbitan Kepmen No. 456/2020 masih berlaku dan belum pernah dibatalkan baik oleh suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun oleh suatu putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap,” kata Johnny.
Tidak Populer untuk Seluler
Sejumlah pengamat telekomunikasi menduga ketidakmampuan STI, yang kemudian berubah nama menjadi Net Satu Indonesia, tidak membayar BHP Frekuensi 450 MHz karena pita frekuensi tersebut tidak cocok untuk seluler. Secara ekonomis kurang menguntungkan.
Ongkos yang dikeluarkan Net Satu untuk mengutilisasi frekuensi 450 MHz terbilang besar. Mereka harus menyediakan gawai khusus, karena tidak ada gawai atau ponsel yang beroperasi dengan menggunakan frekuensi tersebut di era serba digital.
Saat itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan peluang Net Satu memperpanjang izin atau tidak memperpanjang, tergantung pada para pemegang saham Net Satu.
Secara finansial, menurut Heru, Net Satu memiliki kemampuan untuk membayar tunggakan BHP frekuensi yang hanya sekitar Rp442 miliar. Net Satu tergabung dalam grup Sampoerna Strategic, sebuah grup besar yang memiliki kinerja keuangan cukup kokoh.
Adapun jika tunggakan BHP belum dibayarkan, menurut Heru, kemungkinan para pemegang saham kesulitan mengembangkan STI.
“STI tidak menjadi prioritas ke depannya,” kata Heru.
Sementara itu, Ketua Bidang Regulasi dan Pemerintahan Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) Ardian Asmar menilai salah satu pertimbangan para pemegang saham enggan menambah modal ke Net Satu, karena spektrum frekuensi yang digunakan STI kurang populer untuk seluler.
“Tidak ada gawai yang dapat menangkap sinyal di pita 450MHz. Jadi mereka terpaksa jualan perangkat juga agar frekuensinya terpakai,” kata Ardian.
Senada, Ketua Bidang Network dan Infrastruktur Idiec Ariyanto A. Setyawan mengatakan masalah utama pemanfaatan pita frekuensi 450 MHz adalah ketersediaan perangkat terminal pelanggan atau gawai.
Handset di pita 450MHz harus dibuat atau pesanan khusus, ini menyebabkan pergelarannya membutuhkan usaha lebih dibandingkan dengan operator seluler lainnya, yang menggunakan frekuensi dengan ekosistem gawai yang telah matang.
"Operator pengguna 450MHz harus mengalokasikan investasi lebih untuk penyediaan handset ini. Tidak bisa dilepas pada mekanisme pasar bebas, seperti handset-handset GSM pada umumnya,” kata Ariyanto.
Sekadar informasi, pemanfaatan sebuah pita frekuensi baru dapat dirasakan manfaatnya secara optimal jika mendapat dukungan dari ekosistem perangkat – seperti handset - dan aplikasi.
Tanpa adanya ekosistem, maka operator pengguna pita frekuensi harus membangun dari awal ekosistem, dengan turut memasarkan handset yang dapat beroperasi di pita frekuensi tertentu, agar frekuensi yang dimiliki dapat digunakan oleh masyarakat dan menghasilkan uang.
Sebagai contoh pada 2016 ketika Smartfren beralih ke 2,3GHz, mereka membundel layanan dengan gawai dalam satu paket. Karena saat itu gawai yang menggunakan pita 2,3 GHz belum ada. Baru ada di China.
Di samping itu, Ariyanto juga berpendapat karakteristik pita frekuensi 450 MHz, sangat cocok diimplementasikan di daerah rural. Cakupan Base Transceiver Station (BTS) yang menggunakan frekuensi ini sangat luas.
Hanya saja, sambungnya, jika digunakan untuk kebutuhan komersial di masa depan yang membutuhkan banyak bandwidth, frekuensi ini kurang cocok dan terlalu kecil. Kecepatan maksimal untuk teknologi masa depan, sulit tercapai jika menggunakan pita frekuensi 450MHz.
“Pita 2x 7,5 MHz [di 450MHz] sebenarnya terlalu kecil untuk kebutuhan komersial di masa depan, yang makin haus bandwidth. Hanya cukup untuk keperluan komunikasi dasar seperti panggilan suara dan pesan singkat,” kata Ariyanto.
Net Satu merupakan satu-satunya operator seluler di Indonesia yang beroperasi menggunakan pita 450 MHz. STI menggunakan spektrum frekuensi pada rentang 450MHz- 457,5MHz, berpasangan dengan 460MHz – 467,5MHz.
Net Satu menggunakan merek dagang Net1 Indonesia untuk memasarkan layanan 4G LTE yang mereka miliki. Dilansir dari laman resminya, jangkau 4G LTE Net1 bisa mencapai 100km, yang merupakan jangkauan paling luas untuk teknologi 4G di Indonesia.
Baca Juga : Kemenkominfo Cabut Pita Frekuensi Net1 Indonesia |
---|
Dalam memasarkan layanan, STI membundel dengan penjualan paket data dengan perangkat Fixed WiFi, di mana salah satu produknya dibanderol dengan harga berkisar Rp300.000-Rp500.000.
Net1 Indonesia juga menjual sejumlah layanan untuk kebutuhan korporasi seperti paket pascabayar hingga solusi IoT.
Tidak banyak yang bisa informasi yang bisa digali dari laman Net1.co.id, siaran rilis terakhir yang mereka keluarkan – setelah 3 tahun tidak mengeluarkan rilis – adalah pengumuman perihal pergantian CEO perusahaan.
Selain kehilangan frekuensi, Net Satu tidak luput dari kewajiban-kewajiban yang harus dilunasi kepada negara dan pelanggan. Nasibnya bagai di ujung tanduk.