Bisnis.com, JAKARTA - Milky Sea atau fenomena laut bercahaya di malam hari cukup jarang terjadi, namun bukanlah hal baru. Seperti yang terjadi baru baru ini di laut Selatan Jawa.
Cahaya yang diikuti dengan kabut seperti susu ini terbentuk dari bakteri bioluminesensi. Kejadian ini pertama kali dilaporkan oleh Kapten Kapal CSS Alabama, Raphael Semmes.
Pada 1864, Raphael Semmes menceritakan melalui tulisannya bahwa kapal yang dinahkodai tiba-tiba beralih dari air laut yang biru tua ke air yang sangat terang.
"Seluruh pemandangan alam tampak berubah, kalau ada yang melihat, Alabama mungkin dianggap sebagai kapal hantu yang diterangi oleh cahaya laut yang tidak wajar,” tulis Raphael.
Bagi kru kapal yang sangat percaya dengan monster laut, mereka akan sangat ketakutan saat bertemu dengan milky sea.
Fenomena ini juga disebut dengan mareel. Milky sea disebabkan oleh bakteri bioluminescence dalam jumlah miliaran. Bakteri berada di dasar dan permukaan air ini membentuk cahaya terang di malam hari.
Para pelaut menggambarkan milky sea tampak seperti susu atau awan yang menghiasi dari cakrawala ke cakrawala. Saat ini, ilmuwan belum bisa memecahkan secara tuntas fenomena ini.
Steven Miller, ilmuwan senior di Colorado State University menggunakan alat yang ia buat untuk mengukur tingkat cahaya rendah seperti sinar bulan.
Pendeteksian menggunakan satelit yang paling bagus berasal dari laporan kapal uap Lima pada 1995.
Kapten Lima yang berlayar di lepas pantai Somalia menyebutkan cahaya keputihan di cakrawala yang diikuti oleh gelombang laut, memberi kesan berbelok ke "ladang salju".
Setelah kejadian itu, Miller meninjau kembali arsip citra satelit daerah tersebut untuk melihat apakah ada fenomena yang terlihat.
Hasil satelit menunjukkan bahwa ada “noda” di lokasi tersebut. Hal yang lebih mengejutkan adalah “noda” itu memiliki ukuran sebesar 15.000 km persegi.
"Kami belum memecahkan misteri milky sea," kata Miller. "Kami telah dapat mendeteksinya, tetapi tidak ada bukti nyata tentang bagaimana dan mengapa itu terbentuk... kami hanya perlu mencari tahu lebih banyak tentang milky sea." Tim Miller menggunakan satelit untuk menentukan milky sea berikutnya, kemudian mengambil sampel untuk menyelidiki fenomena tersebut.
NASA menyatakan bahwa para ilmuwan tahu lebih banyak tentang luar angkasa daripada yang mereka ketahui tentang lautan di bumi, dan bahkan dengan semua teknologi di dunia.