Bisnis.com, JAKARTA – Rencana entitas hasil merger Gojek dan Tokopedia, Grup GoTo yang dikabarkan akan mencatatkan sahamnya (listing) di Bursa Efek Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dinilai memiliki dampak pada kesehatan persaingan industri perusahaan teknologi.
Dikutip melalui Bloomberg, Grup GoTo tengah membidik dana US$2 miliar dari penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham. Perusahaan tersebut disebutkan berencana mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada tahun ini. Namun, sebelum itu, mereka akan menggalang dana dari bursa AS terlebih dahulu.
“GoTo sudah memulai proses penggalangan dana sekitar US$1-2 miliar dengan valuasi sekitar US$25-30 miliar," ungkap sumber yang mengetahui hal itu, Selasa (27/7/2021).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan aksi dual listing akan membuat Goto makin mendominasi pasar aplikasi super (superapp).
“Ke depan, dengan suntikan modal paska IPO tentu mereka lebih agresif lagi menyasar berbagai sektor layanan digital bukan hanya dagang-el dan ride hailing tapi juga keuangan digital bahkan healthtech dan edutech pun bisa dikuasai,” ujarnya, Rabu (28/7/2021).
Sejalan dengan itu, menurut catatan Bisnis.com, Bukalapak bakal meraih Rp21,9 triliun dari IPO yang merupakan rekor tertinggi nilai IPO. Hal ini didukung oleh saham Bukalapak (BUKA) yang ditawarkan kepada masyarakat dengan harga Rp850 per saham.
Adapun, dalam IPO kali ini, Bukalapak menawarkan paling banyak 25.765.504.851 lembar saham sehingga bila dikalkulasikan, maka diperkirakan jumlah pendanaan yang diterima Bukalapak dalam IPO ini mencapai sekitar Rp21,9 triliun.
Bhima pun melanjutkan, bahwa makin banyak perusahaan berstatus unikorn untuk IPO atau melantai di bursa, turut berdampak bagi perusahaan rintisan lainnya yang makin sulit naik kelas karena investor akan fokus ke perusahaan digital yang sudah IPO.
“Investor ke depan bisa-bisa fokus ke [unikorn/startup] yang sudah IPO karena lebih terbukti dan proses pembelian saham lebih mudah dibanding masuk ke perusahaan yang tertutup [belum IPO],” ujarnya.
Alhasil, Bhima mengkhawatirkan ke depan akan terjadi oligopoli aplikasi super karena seluruh ekosistem aplikasi akan dikuasai hanya segelintir pemain kakap.
Dia melanjutkan, akan makin kecil ruang bagi pemain baru untuk masuk ke pasar. Bahkan, menjadi terbatas untuk bertumbuh ditambah dukungan modal yang kecil karena prioritas akan lebih terpusat bagi unikorn yang melantai di Bursa.
Menurutnya, saat ini penting bagi pelibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk turut hadir dalam proses pra IPO, merger, dan akuisisi perusahaan digital. Khususnya, membuat kajian dampak IPO unikorn terhadap risiko persaingan usaha.