Kerja Sama Operator Seluler-KCIC, Pengamat: Cegah IM2 Jilid 2!

Leo Dwi Jatmiko
Senin, 18 Januari 2021 | 18:06 WIB
Aktivitas proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Bisnis/Rachman
Aktivitas proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Bisnis/Rachman
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat telekomunikasi menilai operator seluler perlu mengembalikan dahulu frekuensi yang dimiliki ke pemerintah, sebelum mengalihkannya untuk kereta cepat. Operator tidak dapat langsung menjalin kerja sama spektrum frekuensi dengan pihak lain.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan penggunaan pita frekuensi sebesar 5MHz untuk kereta cepat Jakarta–Bandung, yang dibangun PT Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC), tidak bisa dilakukan hanya dengan menjalin komunikasi dengan operator seluler.

Penggunaan spektrum untuk kereta cepat, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Komunikasi dan Informatika. Selain itu, harus dijelaskan juga entitas perusahaan yang akan menanggung beban biaya penggunaan frekuensi.

“Harus jelas siapa yang membayar Biaya Hak Penggunaan Frekuensinya. Jangan sampai ini jadi kasus seperti IM2 jilid 2,” kata Heru kepada Bisnis.com, Senin (18/1/2021).

Sekadar informasi, kasus PT Indosat Tbk. dengan anak usahanya, PT Indosat Media Mega (IM2) terjadi pada 2012-2013. Saat itu, IM2 menggunakan spektrum frekuensi milik Indosat untuk memberikan layanan. IM2 tidak memiliki izin penyelenggara layanan seluler. Hal tersebut dipermasalahkan yang berujung pada penetapan tersangka Direktur Utama IM2, Indar Atmanto dengan tuduhan kasus korupsi frekuensi radio.

Heru menjelaskan saat pemerintah mengalokasikan spektrum frekuensi ke operator A, maka harus dipakai oleh operator A saja, kecuali ada pelimpahan ke operator B maka operator B yang membayar. Hal Itu juga harus dengan restu Menkominfo dan proses yang transparan.

Adapun jika ingin terbebas dari jerat hukum dan aman, menurut Heru, harus diserahkan ke pemerintah terlebih dahulu frekuensinya dan pemerintah menggelar lelang untuk frekuensi yang dikembalikan.

Mengenai Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang memperbolehkan aktivitas kerja sama spektrum frekuensi untuk teknologi baru, kata Heru, proses kerja sama harus tetap melalui evaluasi, persetujuan, dan bersifat nondiskriminasi.

“Frekuensi bukan kue ulang tahun bisa dibagi-bagi ke yang kita mau. Ada proses evaluasi, persetujuan dan sifat nondiskriminasi,” kata Heru.

Sementara itu, Dirjen SDPPI Kemenkominfo Ismail menjelaskan saat ini pemerintah terus mempersiapkan payung hukum aktivitas penyelenggaraan dan kerja sama spektrum frekuensi.

Rencananya dasar hukum tersebut akan tertuang dalam peraturan pemerintah turunan dari UU Ciptaker. Hadirnya peraturan turunan tersebut akan memberi perlindungan hukum atas segala aktivitas kerja sama spektrum frekuensi, tidak hanya kerja sama spektrum untuk kereta cepat.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper