Dampak Buruk Jangka Panjang Kemasan Plastik Sekali Pakai Menurut Greenpeace

Mia Chitra Dinisari
Jumat, 27 November 2020 | 18:20 WIB
Nelayan melintasi muara sungai yang tercemar sampah plastik di Pantai Satelit, Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (19/4/2019). produksi sampah plastik di Indonesia telah mencapai 64 juta ton/tahun dan sebagian besar mencemari lautan./ANTARA FOTO/Seno
Nelayan melintasi muara sungai yang tercemar sampah plastik di Pantai Satelit, Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (19/4/2019). produksi sampah plastik di Indonesia telah mencapai 64 juta ton/tahun dan sebagian besar mencemari lautan./ANTARA FOTO/Seno
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan Greenpeace mengingatkan semua pihak akan dampak buruk jangka panjang yang bisa disebabkan sampah dari kemasan plastik termasuk galon sekali pakai terhadap lingkungan.

Pasalnya, ini akan memunculkan masalah baru sampah plastik dalam beberapa tahun ke depan. Hal itu tentunya sangat bertolak belakang dengan rencana pemerintah yang menargetkan untuk mengurangi sampah plastik di lautan hingga 70 persen pada tahun 2025.

Di acara IG Live AZWI (Aliansi Zero Waste Indonesia), Selasa (25/11), Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, menyampaikan bahwa dulu masyarakat menggunakan botol plastik itu karena menganggapnya lebih mudah, lebih instan, dan lebih nyaman untuk dipakai. Sayangnya, saat itu tidak ada satupun yang memikirkan dampak jangka panjangnya itu apa terhadap lingkungan.

“Itu baru kita rasakan dampaknya pada beberapa tahun ini. Ada kabar laut dan sungai-sungai kita tercemar oleh sampah plastik,  mikro plastik mulai ditemukan dimana-mana. Saya khawatir kita akan menemukan masalah baru lagi dalam permasalahan sampah plastik ini dalam beberapa tahun mendatang jika penggunaan kemasan plastik sekali pakai kian bertambah,” ujarnya.  

Menurut Atha, untuk bisa dikatakan plastik itu terserap, itu harus dikumpulkan para pemulung untuk kemudian dijual ke para pelapak, atau masayarakat secara aktif mengumpulkannya dan membawanya ke bank sampah-bank sampah terdekat.

Menurutnya, juga cukup rumit jika bicara soal produk yang disebut ramah lingkungan itu. 

Apalagi, menurut Atha, sistem pengelolaan sampah di Indonesia itu bisa dikatakan belum siap.  Selain itu, belum semua industri melakukan tanggung jawabnya dalam bentuk EPR (Extended Producer Responsibility), meskipun sudah digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dituangkan dalam Permen KLHK No. 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

“Nah, ketika produsen-produsen ini memperkenalkan produk-produk baru mereka, seharusnya mereka juga harus menyiapkan skema-skema misalnya  take back, atau skema-skema daur ulang dengan kapasitas yang tentu seharusnya sama dengan produk-produk yang mereka keluarkan atau produksi,” tukas Atha. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper