Author

Agung Bayu Purwoko & Abdurrahman Alfarizi

Ekonom Ahli Bank Indonesia dan Ekonom Bank Indonesia

Agung Bayu Purwoko meraih gelar Master Ekonomi dari Universitas Indonesia, sedangkan Abdurrahman Alfarizi meraih gelar Master Keuangan dari Tilburg University.

Lihat artikel saya lainnya

Ant Group dan IPO yang Tertunda

Agung Bayu Purwoko & Abdurrahman Alfarizi
Rabu, 11 November 2020 | 12:14 WIB
Agung Bayu Purwoko & Abdurrahman
Agung Bayu Purwoko & Abdurrahman
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Alipay memang fenomenal. Pada 2019, ia memproses lebih dari US$17 triliun transaksi, melampaui Master Card (US$6,5 triliun), bahkan hampir setara dengan PDB Uni Eropa (US$18,3 triliun). Alipay memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif, lebih dari 80 juta pedagang, dan beroperasi di lebih dari 200 negara. Luar biasa impresif bagi sebuah perusahaan teknologi keuangan.

Mayoritas pembayaran ritel di China menggunakan Alipay. Sebagai platform pembayaran digital, ia digunakan pada berbagai macam transaksi ekonomi. Dengan skalabilitas yang menakjubkan, Alipay memegang peran sentral dalam perkembangan Ant Group, pemilik Alipay, menguasai pasar China.

Sebagai financial super-app, Ant Group berencana terus ekspansi melalui initial public offering (IPO) di bursa Shanghai dan Hong Kong pada 5 November 2020. IPO ini diharapkan menjadi yang terbesar dalam sejarah, dengan perkiraan harga penawaran umum perdana US$35 miliar. Namun, ibarat sebuah drama sepak bola, rencana IPO Ant Group mendadak ditunda oleh regulator keuangan China pada injury time (2 November 2020) dengan alasan tidak memenuhi persyaratan permodalan dengan perubahan rezim regulasi yang baru.

Awalnya, Ant Group hanya sebuah unit sistem pembayaran dari grup e-commerce Alibaba. Bisnis sistem pembayaran Alipay kemudian terus berkembang hingga dapat memfasilitasi pembayaran dalam berbagai jenis transaksi ekonomi. Saat ini Ant Group telah bertransformasi dari platform yang menyediakan layanan pembayaran digital menjadi one-stop financial app.

Salah satu hal yang paling mencengangkan dari Ant Group, mereka hanya perlu 16 tahun untuk tumbuh menjadi salah satu perusahaan keuangan digital paling berharga di dunia. Valuasi pasarnya ditaksir US$300 miliar, setara dengan kapitalisasi pasar JPMorgan Chase. Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari Jack Ma, pendiri Alibaba. “If the banks don’t change, we’ll change the banks.” Demikian tegasnya pada 2008.

Menjelang IPO, Jack Ma kembali mengkritik sektor keuangan, terutama cara pengawasan sektor keuangan dunia berdasarkan Basel Accord yang dianggap terlalu mengedepankan risiko daripada inovasi. Ma juga kembali mengkritik bank yang bekerja layaknya pegadaian yang selalu meminta jaminan sebelum UMKM mulai berusaha.

Rencana IPO Ant Group senilai US$35 miliar bahkan melebihi nilai IPO Saudi Aramco pada 2019 sebesar US$29 miliar, sekaligus menjadi simbol pergeseran aset paling berharga di dunia dari oil ke data.

IPO Ant Group tidak berjalan mulus di titik akhir. Empat otoritas keuangan China melakukan supervisory interview terhadap manajemen perusahaan itu. Kesimpulannya, perubahan rezim pengaturan terhadap fintech menyebabkan Ant Group belum memenuhi syarat untuk IPO.

Belum lama, bank sentral negara itu (PBoC) mengeluarkan beleid tentang financial holding company, di mana perusahaan nonkeuangan yang mengendalikan dua atau lebih lembaga keuangan dan total aset yang melebihi threshold tertentu wajib berizin dan dipantau oleh otoritas. PBoC dan CBIRC juga akan memperketat ketentuan tentang pembiayaan mikro secara daring.

Bagi pengambil kebijakan dan pelaku pasar, fenomena Ant Group dan IPO yang tertunda ini memberikan pelajaran sangat berharga.

Pertama, batasan bisnis dan rentang pengaturan yang semakin kabur. Model bisnis Ant Group melalui Alipay dan bigtech lain seperti Google, Facebook, dan Amazon menunjukkan bahwa sistem pembayaran merupakan langkah awal masuk ke industri keuangan.

Melalui penguasaan sistem pembayaran, perusahaan teknologi besar berpotensi berkembang sangat pesat dan menjadikannya sebagai lembaga keuangan yang sistemik.

Kedua, sumber risiko sistemik. Potensi risiko sistemik bisa muncul dari korporasi. Salah satunya Ant Group.Namun, regulator juga meyakini keberadaan bigtech di sektor keuangan dapat memberikan potensi manfaat yang besar, terutama untuk efisiensi dan inklusi keuangan.

Ketiga, pengawasan terintegrasi. Di era ekonomi dan keuangan digital global yang tumbuh cepat, kolaborasi antar-regulator dibutuhkan untuk menghindari regulatory arbitrage dan kekhawatiran regulator yang berlebihan. Kebijakan mikroprudensial memang penting tapi belum cukup.

Interkoneksi yang besar antarbisnis membutuhkan pemantauan makroprudensial yang lebih terintegrasi. Bahkan, model bisnis bigtech yang umumnya beroperasi secara lintas batas, memerlukan koordinasi antarnegara dalam memantau aktivitas bigtech secara global.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu, (11/11/2020)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper